Ilustrasi pekerja bongkar muat beras di pasar induk. (TrenAsia.com/Ismail Pohan).
Dunia

Konflik Palestina-Israel Potensi Kerek Harga Bahan Pangan di Indonesia

  • Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menjelaskan kemungkinan investor akan beralih ke aset yang dianggap aman menyusul konflik yang kembali memanas.

Dunia

Distika Safara Setianda

JAKARTA – Hamas, Kelompok Islamis Palestina, mengejutkan Israel dengan meluncurkan serangan yang luar biasa. Serangan Hamas yang merusak kota-kota Israel pada Sabtu, 7 Oktober 2023 merupakan serangan terbesar sejak serangan yang dilancarkan Mesir dan Suriah dalam Perang Yom Kippur 50 tahun yang lalu. 

Serangan ini telah mengancam untuk memicu konflik yang berlarut-larut dalam konflik yang sudah berlangsung lama. Dilaporkan, lebih dari 1.000 individu telah terkena dampak konflik Israel-Palestina, termasuk tentara dan warga sipil. 

Beberapa negara juga telah mengeluarkan panggilan untuk menghentikan pertempuran dan mencapai gencatan senjata. Di sisi lain, konflik Israel dan Palestina berpotensi memberikan dampak pada pasar keuangan, termasuk di Indonesia

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menjelaskan kemungkinan investor akan beralih ke aset yang dianggap aman menyusul konflik yang kembali memanas. 

Situasi ini bisa menyebabkan penguatan nilai dolar Amerika Serikat (AS) dalam jangka pendek. Sebagai akibatnya, nilai tukar rupiah kemungkinan akan terus mengalami tekanan dan mengalami depresiasi terhadap dolar AS. Hal ini dapat mengakibatkan kenaikan harga barang impor, terutama komoditas pangan, yang menjadi lebih mahal.

“Sebagai contoh beras, walaupun ada negara yang siap menjual ke Indonesia, namun biaya impor beras dipengaruhi oleh nilai dolar Amerika Serikat. Sehingga, harga beras impor menjadi lebih tinggi,” ujarnya, dikutip Selasa, 9 Oktober 2023.

Tidak hanya itu, impor bahan bakar minyak (BBM) akan mengalami kenaikan biaya. Hal ini dapat mengakibatkan peningkatan alokasi subsidi energi atau kemungkinan kenaikan harga BBM yang akan berdampak pada masyarakat. 

“Inflasi menjadi ancaman serius terhadap kemampuan beli domestik. Selain itu, terdapat ketidakpastian apakah kenaikan harga komoditas akan berlanjut,” terang Bhima.

Dia memperkirakan, konflik di Timur Tengah memiliki potensi untuk meningkatkan harga minyak mentah sekitar US$90 hingga US$92 per barel, dibandingkan dengan harga saat ini sekitar US$83 per barel di pasar spot.

Namun, ia menegaskan, kenaikan harga minyak saat ini diperkirakan tidak akan mencapai tingkat kenaikan tertinggi yang terjadi selama krisis minyak mentah pada tahun 1973, ketika harga minyak naik drastis dari US$2 per barel menjadi US$11 per barel, mengalami kenaikan sebesar 450%.

Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk kebijakan relaksasi pembatasan ekspor minyak oleh Rusia yang diperkirakan akan meningkatkan pasokan minyak global. Selain itu, pemangkasan produksi minyak yang belum jelas dan masih akan dibahas dalam pertemuan antara Arab Saudi dan Rusia yang dijadwalkan pada bulan November mendatang juga turut berperan dalam dinamika harga minyak saat ini.

Bhima juga mengatakan, penguatan dolar AS menjadi kabar buruk bagi pelaku bisnis komoditas minyak karena ada kekhawatiran bahwa banyak negara yang mengimpor minyak akan mengurangi permintaan impor mereka karena perbedaan kurs mata uang.

Selain itu, China, sebagai konsumen energi besar, saat ini menghadapi perlambatan ekonomi yang diperkirakan akan berlanjut hingga tahun 2024. “Industri di China tidak sedang mengalami ekspansi, sehingga berdampak pada permintaan minyak global.”

Tindakan Pemerintah

Menurut ahli ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Eddy Junarsin, perang antara Palestina dan Israel diyakininya akan menghambat pemulihan ekonomi global. Oleh sebab itu, dia menganggap bahwa ada potensi risiko resesi yang lebih tinggi. Eddy berpendapat Indonesia perlu berhati-hati dalam menyikapi pada bidang ekonomi.

“Cadangan devisa harus dipertahankan dan ditingkatkan, inflasi harus diawasi dengan ketat, dan suku bunga perlu dijaga tetap stabil atau bahkan dikurangkan secara perlahan,” kata Eddy.

Eddy menilai pemerintah harus berupaya mengurangi defisit fiskal hingga batas maksimum 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Selain itu, dalam waktu dekat, pemerintah juga harus berusaha agar tidak ada peningkatan lebih lanjut dalam utangnya.

Lebih lanjut, Bhima berharap pemerintah akan mengambil langkah antisipatif untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Ini dilakukan dengan dorong penggunaan devisa hasil ekspor, mengawasi repatriasi dividen ke luar negeri, mengontrol konsumsi bahan bakar minyak, serta mencegah impor pangan yang berlebihan.

“Produksi pangan dalam negeri harus diteruskan, sehingga tekanan dari impor yang dapat memengaruhi fluktuasi nilai tukar rupiah dapat ditekan,” ungkapnya.