Ilustrasi infrastruktur jalan tol Trans Sumatra / Dok. PUPR
Industri

Konglomerasi Kecantol Bisnis Tol (Serial 1): Astra, Saratoga Hingga Gudang Garam, Untung atau Buntung?

  • Sejak 10 tahun terakhir, sejumlah konglomerasi bisnis mulai kepincut untuk masuk ke bisnis tol. Usai PT Astra International Tbk (ASII) dan PT Saratoga Investama Sedaya Tbk (SRTG), nama terakhir yang masuk bisnis tol adalah PT Gudang Garam Tbk (GGRM).

Industri
Fajar Yusuf Rasdianto

Fajar Yusuf Rasdianto

Author

JAKARTA – Sejak 10 tahun terakhir, sejumlah konglomerasi bisnis mulai kepincut untuk masuk ke bisnis tol. Usai PT Astra International Tbk (ASII) dan PT Saratoga Investama Sedaya Tbk (SRTG), nama terakhir yang masuk bisnis tol adalah PT Gudang Garam Tbk (GGRM).

Nama Gudang Garam milik orang terkaya se-Jawa Timur Susilo Winowidjojo ini masuk bisnis tol usai perseroan membentuk anak usaha bernama PT Surya Kertaagung Toll (SKT). Perusahaan ini merupakan anak usaha PT Surya Kerta Agung (SKA) yang dibentuk pada 10 November silam dengan modal Rp2,2 triliun.

Sekretaris Perusahaan Gudang Garam Heru Budiman menjelaskan, sekitar Rp1,2 triliun telah digelontorkan perseroan untuk membangun SKT. Sementara modal ditempatkan dan disetor perseroan senilai Rp300 miliar atau 300.000 saham dengan nominal Rp1 juta per lembar.

Di sini, Heru Budiman sendiri mengambil bagian 1 lembar saham Surya Kertaagung Toll atau setara Rp1 juta. “SKA mengambil bagian saham sebanyak 299.999 saham atau setara Rp299,99 miliar,” ungkap Heru dalam keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), Selasa, 10 November 2020.

Surya Air, maskapai penerbangan milik PT Gudang Garam Tbk. di Kediri, Jawa Timur. / Suryaair.co.id
Tambahan Modal

Selanjutnya, pada Rabu, 25 November 2020, perseroan kembali menambah permodalan kepada SKT dengan nominal Rp1 triliun. Dana itu ini dipecah untuk modal dasar Rp500 miliar serta modal ditempatkan dan disetor Rp500 miliar.

Penambahan dana itu membuat modal perseroan dalam SKA kini mencapai Rp4 triliun. Rinciannya, modal dasar Rp3 triliun serta modal ditempatkan dan disetor penuh Rp1 triliun.

Penambahan modal tersebut dilakukan Gudang Garam bersama anak usahanya, yakni PT Suryaduta Investama. Gudang Garam menggenggam mayoritas saham SKA dengan total kepemilikan 99,9% atau Rp999,99 miliar. Suryaduta Investama memiliki saham sebanyak 1 saham atau setara dengan Rp1 juta.

“Penambahan modal dasar dan modal ditempatkan dan disetor pada SKA dimaksudkan untuk mendukung rencana pelaksanaan proyek-proyek dalam bidang usaha SKA,” ungkap Heru.

Adapun tujuan dari perusahaan perusahaan baru ini adalah untuk ‘menancapkan kuku’ perseroan di bisnis jalan tol. Mencakup pekerjaan bangun jalan, pelebaran, pemeliharaan maupun perbaikan jalan.

Pekerjaan ini tidak hanya terbatas pada pembangunan jalan tol, melainkan juga pembangunan jalan raya, jembatan layang, dan drainase. Bahkan hingga pembuatan marka, rambu-rambu, hingga pemasangan tembok pagar jalan layang.

“Serta pemasangan bangunan prafabrikasi yang utamanya dari beton untuk konstruksi jalan dan jalan rel sebagai bagian dari pekerjaan yang tercakup dalam konstruksi bangunan sipil dan biasanya dikerjakan atas dasar subkontrak,” tambah Heru.

Hingga kini belum diketahui proyek tol mana yang bakal digarap oleh Gudang Garam. Desas-desus yang beredar, Gudang Garam berencana untuk membangun Tol Kediri-Tulungagung.

Namun saat dikonfirmasi soal kebenaran berita tersebut, pihak Gudang Garam masih enggan menjawab. TrenAsia.com telah mengirimkan surel kepada Heru, namun hingga artikel ini diterbitkan, dia urung menjawab pertanyaan kami.

Kantor Pusat Gudang Garam
Proyeksi Saham

Menilik pada ekspansi tersebut, Ekonom sekaligus pendiri LBP Institute Lucky Bayu Purnomo menilai bahwa pilihan terjun ke sektor konstruksi atau tepatnya bisnis jalan tol adalah pilihan terbaik. Menurutnya, sektor tersebut akan menjadi yang pertama diburu oleh pasar saat produk domestik bruto (PDB) sudah berada di zona positif tahun depan.

“Saat ini hanya terhambat pandemi saja, tetap, infrastruktur adalah sektor yang paling seksi,” kata Lucky saat dihubungi melalui sambungan telepon.

Tahun depan, Lucky melihat realisasi proyek akan memberikan sentimen positif kepada perusahaan. Proyeksinya, saham GGRM bisa tembus tertinggi yakni Rp56.000 per lembar.

“Kalau fundamentalnya baik, pasti tahun depan baik karena sektornya sudah tepat,” tegas dia.

Sebaliknya, analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia Christine Natasya justru menilai bahwa ekspansi Gudang Garam ke bisnis tol ini menjadi sinyal buruk. Pasalnya, Gudang Garam belum memiliki portofolio yang cukup dalam bisnis tersebut.

Terlebih, konstruksi tol adalah bisnis yang membutuhkan modal besar alias heavy capital expenditure (capex). Itu, sambung dia, malah akan merusak neraca keseimbangan perseroan di masa mendatang.

“Dan kalau toll road itu ‘kan return on investment (ROE)-nya kecil,” jelas Christine saat berbincang dengan TrenAsia.com pekan lalu.

Pemilik sekaligus Presiden Direktur PT Gudang Garam Tbk. Susilo Wonowidjojo menempati posisi kedua orang terkaya di Indonesia versi Majalah Forbes. / Foto: Dok. Gudang Garam
Cukai Rokok

Di sisi lain, kini kinerja Gudang Garam juga tengah dihantui oleh isu kenaikan tarif cukai hingga 17%. Kenaikan tarif cukai itu selalu menjadi momok bagi perusahaan rokok—tidak hanya Gudang Garam—selama bertahun-tahun.

Terbukti, pada kuartal III-2020, utang pita cukai Gugang Garam sampai membengkak dari Rp4,62 triliun menjadi Rp12,48 triliun. Demikian pula dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan pajak rokok yang mengembung dari Rp462 miliar menjadi Rp2,38 triliun.

Sebab itu, meski pendapatan GGRM naik 2% dari Rp81,72 triliun menjadi Rp83,37 triliun. Kondisi ini tetap tidak menolong laba perseroan. Hasilnya, laba bersih perseroan pun harus tergerus hingga 22% menjadi Rp5,64 triliun dari sebelumnya Rp7,24 triliun.

Melihat kondisi ini, Christine pun memprediksi dua kemungkinan yang bakal terjadi pada saham GGRM hingga akhir tahun. Skenario terbaiknya jika tarif cukai tidak naik, maka harga saham GGRM bakal berada di level Rp50.000 per lembar.

“Karena ada window dressing di akhir tahun, skenario terburuk (kalau cukai resmi naik) ya di bawah Rp44.000, sekitar Rp42.000,” kata dia. (SKO)

Artikel ini akan bersambung ke bagian kedua terbit berikutnya berjudul Konglomerasi Kecantol Bisnis Tol (Serial 2): Bukan Untung Malah Justru Jebol”