<p>Pembangunan Tol Cengkareng-Batuceper-Kunciran. / Dok. Kementerian PUPR</p>
Industri

Konglomerasi Kecantol Bisnis Tol (Serial 2): Bukan Untung Malah Justru Jebol

  • Sejak 10 tahun terakhir, sejumlah konglomerasi bisnis mulai kepincut untuk masuk ke bisnis tol. Usai PT Astra International Tbk (ASII) dan PT Saratoga Investama Sedaya Tbk (SRTG), nama terakhir yang masuk bisnis tol adalah PT Gudang Garam Tbk (GGRM).

Industri

Fajar Yusuf Rasdianto

JAKARTA – Sejak 10 tahun terakhir, sejumlah konglomerasi bisnis mulai kepincut untuk masuk ke bisnis tol. Usai PT Astra International Tbk (ASII) dan PT Saratoga Investama Sedaya Tbk (SRTG), nama terakhir yang masuk bisnis tol adalah PT Gudang Garam Tbk (GGRM).

Nama Gudang Garam milik orang terkaya se-Jawa Timur Susilo Winowidjojo ini masuk bisnis tol usai perseroan membentuk anak usaha bernama PT Surya Kertaagung Toll (SKT). Perusahaan ini merupakan anak usaha PT Surya Kerta Agung (SKA) yang dibentuk pada 10 November silam dengan modal Rp4 triliun.

Soal ekspansi bisnis itu, analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia Christine Natasya melihat bahwa aksi ini tidak akan berjalan baik bagi GGRM. Sebab terbukti, banyak konglomerasi yang masuk ke bisnis tol justru mengalami kerugian.

Boleh dilihat contoh yang terjadi pada Saratoga Investama milik konglomerat Sandiaga Uno dan Edwin Soeryadjaya. Pada 2011 lalu, Saratoga melalui PT Baskhara Utama Sedaya (LMS) sempat memiliki saham perusahaan konsensus Tol Cikopo-Palimanan (Cipali) PT Lintas Marga Sedaya (LMS).

Saratoga memegang saham mayoritas LMS dengan total kepemilikan 45%. Namun anak usaha itu justru terus memberikan kerugian kepada perusahaan dari tahun ke tahun.

Tercatat pada 2015-2016, investasi Saratoga di BUS justru mengalami kerugian Rp32,12 miliar. Nilai ini berbalik dari kinerja keuangan perusahaan pada 2014 yang masih membukukan untung Rp50,77 miliar.

Sebab kerugian investasi inilah, akhirnya pada 2017 Saratoga pun melepas seluruh sahamnya di LMS kepada Astra International dengan nilai Rp5 triliun. Padahal, total investasi untuk pembangunan tol terpanjang se-Indonesia ini ditaksir mencapai Rp13,7 triliun.

Dengan kepemilikan saham 45%, maka bisa dihitung secara kasar bahwa investasi yang digelontorkan Saratoga dalam pembangunan tol Cipali saat itu hampir menyentuh Rp6,16 triliun. Maka dengan total penjualan hanya Rp5 triliun, Saratoga masih rugi Rp1,6 triliun.

Penandatanganan pembelian saham Tol Cipali dari Grup Saratoga ke Astra / Astrainfra.co.id
Belajar dari Astra

Hal tidak jauh berbeda juga terjadi pada PT Astra International Tbk (ASII) milik konglomerat William Soerjadjaja. Mengulik laparan keuangan Astra kuartal III-2020, segmen infrastruktur dan logistik yang mencakup bisnis tol rupanya malah mencatatkan kerugian Rp59 miliar.

Kerugian itu disebabkan oleh amblasnya pendapatan segmen infrastruktur dan logistik perseroan dari Rp5,84 triliun menjadi Rp4,49 triliun. Dengan nilai itu, kontribusi segmen logistik dan infrastruktur Astra pada pendapatan konsolidasi perseroan terbilang cukup kecil, yakni hanya 3,45% dari total Rp130,35 triliun.

Padahal, hingga saat ini, Astra telah memiliki tujuh tol di Indonesia. Melalui entitas anak perusahaan yakni PT Astra Tol Nusantara, Astra memiliki aset Rp19,55 triliun hingga 30 September 2020.

Menara Astra milik PT Astra Internasional Tbk. / Astra.co.id
Tujuh Tol Grup Astra

Berikut adalah ketujuh jalan tol yang dimiliki oleh Grup Astra melalui tujuh anak perusahaan. Dihimpun dari berbagai sumber termasuk Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP).

  • Tol Tangerang-Merak
    PT Marga Mandalasakti merupakan operator ruas jalan tol Tangerang-Merak sepanjang 72.5 km. Konstruksi tol Tangerang-Merak menelan biaya Rp900 miliar, dengan kepemilikan saham sebesar 79,3%, PT Marga Mandalasakti merogoh kocek sedalam Rp713,7 miliar dalam proyek tersebut.
  • Tol Kunciran-Serpong
    PT Marga Trans Nusantara (MTN) dan Jasa Marga memiliki saham masing-masing 40% dan 60% dalam proyek jalan tol Kunciran-Serpong sepanjang 11,1 km. Dalam pembangunannya, MTN mengeluarkan dana Rp1,04 triliun atau 40% dari total investasi Rp2,62 triliun.
  • Tol Cikopo-Palimanan
    Sebagai pemegang konsesi ruas tol Cikopo-Palimanan sepanjang 116,8 km, PT Lintas Marga Sedaya berinvestasi sebesar Rp7,53 triliun atau 55% dari total nilai proyek sebesar Rp13,7 triliun.
  • Tol Semarang-Solo
    PT Trans Marga Jateng (PT TMJ) ditunjuk sebagai badan usaha jalan tol Semarang-Solo dengan panjang total 72,64 km senilai Rp7,30 triiliun. Dengan total kepemilikan saham sebesar 40%, maka dana PT TMJ yang mengalir ke jalan tol ini berjumlah Rp2,92 triliun.
  • Tol Jombang-Mojokerto
    Astra Infra grup mengakuisisi 100% saham milik PT Marga Harjaya Infrastruktur Infrastruktur sebagai pemegang konsesi untuk ruas tol Jombang-Mojokerto sepanjang 40,5 km. Dengan kepemilikan penuh, ASII menggelontorkan dana sebesar Rp1 triliun untuk merampungkan konstruksi ruas tol ini.
  • Tol Surabaya-Mojokerto
    Pada proyek jalan tol Surabaya-Mojokerto sepanjang 36,3 km senilai Rp1,7 triliun, Astra Infra mencaplok 44,5% kepemilikan saham PT jasamarga Surabaya Mojokerto. Sebab itu, biaya yang dikeluarkan perusahaan dalam proyek ini sebesar Rp756 miliar.
  • Tol JORR W2
    ASTRA Infra dan Jasa Marga merupakan pemilik PT Marga Lingkar Jakarta (MLJ), dengan masing-masing kepemilikan saham 35% dan 65%. MLJ adalah pemegang konsesi dari 7,67 km Jalan Tol JORR I W2N. Total investasi tol JORR W2, diketahui mencapai Rp2,2 triliun. Dengan persentase saham tersebut, maka dana yang dialokasikan untuk proyek tol ini sebanyak Rp770 miliar.

Artikel ini merupakan serial terakhir dari sebelumnya yang berjudul “Konglomerasi Kecantol Bisnis Tol (Serial 1): Astra, Saratoga Hingga Gudang Garam, Untung atau Buntung?