<p>Suasana ruas jalan ibukota saat pemberlakuan kembali PSBB di Jalan Sudirman, Jakarta, Senin, 14 September 2020. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memutuskan menerapkan kembali pembatasan sosial berskala besar (PSBB) jilid dua atau PSBB pengetatan, yang berlaku selama dua pekan mulai Senin, 14 September 2020 hingga 27 September 2020. Penerapan PSBB itu mengacu pada Pergub Nomor 88 Tahun 2020 terkait perubahan Pergub Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan PSBB dalam Penanganan Covid-19 di DKI Jakarta. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Nasional

Konglomerat Bos Djarum Budi Hartono Protes PSBB Jakarta, YLKI: Absurd

  • “Pemerintah terlalu grusa-grusu dalam membuka keran ekonomi, sementara aspek pengendalian belum memenuhi syarat sebagaimana standar yang ditetapkan WHO,” kata Tulus Abadi.

Nasional

Ananda Astri Dianka

JAKARTA – Ketua Umum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi berkomentar pedas soal konglomerat paling kaya di Indonesia, Michael Budi Hartono, bos PT Djarum yang protes Jakarta kembali berstatus pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

Tulus menilai tindakan Budi Hartono, sebagai orang terkaya nomor wahid di Indonesia absurd dan mencerminkan kepentingan bisnisnya.

“Lebih absurd lagi adalah penolakan PSBB oleh Budi Hartono. Penolakan tersebut lebih mencerminkan kepentingan bisnisnya, terutama bisnis zat adiktif (rokok),” kata Tulus dalam keterangan tertulis, Minggu, 13 September 2020.

Padahal, menurut Tulus, PSBB ini harus menjadi pertarungan terakhir Jakarta melawan corona. Sehingga, perlu mendapat dukungan dari semua pihak, termasuk pelaku bisnis. Dari sisi kesehatan masyarakat dan politik pengendalian pandemi, PSBB adalah suatu keniscayaan di mana pandemi COVID-19 di Jakarta kian eskalatif.

Baginya adalah paradoks apabila PSBB masih menjadi obyek debat kusir antarelit yang masih bersuara keras perihal bakal bobroknya perekonomian akibat pembatasan tersebut.

Salah Strategi Sejak Awal

Jauh ke belakang, Tulus juga mengatakan pemerintah sudah salah strategi sedari awal untuk membuka perekonomian. “Pemerintah terlalu grusa-grusu dalam membuka keran ekonomi, sementara aspek pengendalian belum memenuhi syarat sebagaimana standar yang ditetapkan WHO,” katanya.

Aspek yang dimaksud misalnya positivity rate di bawah 5%. Lalu tingkat kepatuhan masyarakat yang masih lemah, khususnya dalam menggunakan masker dan menjaga jarak. Untuk itu, ia menegaskan dalam menangani wabah, nyawa dan keselamatan warga seharusnya menjadi prioritas pertama, tanpa kompromi.

Oleh karena itu, PSBB edisi September 2020 harus menjadi pertaruhan terakhir untuk mengendalikan wabah COVID-19 di Jakarta. Warga Jakarta dan seluruh masyarakat Indonesia sudah lelah dengan “penjara” pandemi.

Semua pihak seharusnya bahu membahu dalam mengatasi wabah ini. Jika PSBB Jakarta kali ini gagal sebagai instrumen pengendali pandemi, maka akan berdampak eskalatif terhadap pengendalian wabah di level nasional. Klimaksnya denyut nadi perekonomian nasional akan makin terpuruk.

Begitupun dengan aparat Pemprov DKI Jakarta dan aparat terkait agar secara konsisten dan sistematis melakukan upaya sosialisasi dan penegakan hukum bagi yang melanggar. Jangan ada kata kompromi dan negosiasi untuk melindungi keselamatan warga.

“Jangan mimpi pertumbuhan ekonomi akan meroket jika aspek pengendalian wabah COVID-19 masih berantakan dan amburadul seperti sekarang,” tegas Tulus. (SKO)