Pekerja melinting tembakau di gerai Kamarasa yang menjual tembakau dengan berbagai varian di kawasan Pondok Cabe, Pamulang, Tangerang Selatan, Rabu, 5 Januari 2022. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia
Nasional

Konsumen Produk Tembakau Tolak Pasal Zat Adiktif dalam RUU Kesehatan yang Sejajarkan Tembakau dengan Narkoba

  • JAKARTA – Komunitas Kretek menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang saat ini disusun secara omnibus law tidak transparan, manipulatif, penuh kepenti
Nasional
Ananda Astri Dianka

Ananda Astri Dianka

Author

JAKARTA – Komunitas Kretek menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang saat ini disusun secara omnibus law tidak transparan, manipulatif, penuh kepentingan, tidak urgen atau mendesak, dan memiliki potensi bahaya yang besar. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya penolakan dan kritik yang dilayangkan berbagai pihak.

Juru Bicara Komunitas Kretek, Siti Fatona, menyebutkan penyertaan pasal 154 pada RUU Kesehatan yang menyetarakan tembakau dengan narkotika dan psikotropika sebagai zat adiktif adalah salah satu contohnya. 

“Undang-Undang lama masih relevan dan tidak ada urgensi dibuatnya aturan Omnibus Law. Aturan soal tembakau di Undang-Undang yang lama serta beragam aturan lainnya, sudah sangat komprehensif dan tidak perlu ditambah-tambahkan secara sewenang-wenang,” katanya.

Lebih lanjut, Siti juga menilai bahwa penyetaraan tembakau dengan narkotika dan psikotropika dalam aturan ini juga mengada-ada dengan tujuan utama untuk mengendalikan tembakau belaka. Sebagai informasi, pasal 154 yang terdapat dalam RUU Omnibus Kesehatan merupakan perubahan dari Pasal 113 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang membahas terkait Pengamanan Zat Adiktif.

Dalam pasal 113 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, yang dimaksud sebagai zat adiktif adalah tembakau dan produk yang mengandung tembakau. Sementara, narkotika dan psikotropika diatur dalam undang-undang berbeda yang tidak termasuk dalam UU Kesehatan yang masih berlaku.  

Namun, dalam RUU Omnibus Kesehatan yang tengah menjadi pembahasan, barang yang diklasifikasikan sebagai zat adiktif bertambah menjadi tembakau, minuman beralkohol, narkotika, psikotropika dan hasil pengolahan zat adiktif lainnya. Hal inilah yang membuat berbagai kalangan menilai pasal zat adiktif dalam RUU Omnibus Kesehatan melampaui batas.

Berbagai pihak melayangkan kritik dan menentang pemasukan atau penyetaraan tembakau dengan narkotika dan psikotropika sebagai bagian dari zat adiktif dalam pasal 154 RUU Kesehatan ini dengan berbagai alasan. Salah satunya adalah lantaran perbedaan legalitas antara tembakau dengan narkotika dan psikotropika, di mana tembakau dan produk turunannya merupakan barang yang legal secara hukum sementara narkotika dan psikotropika tergolong ilegal.

Penyetaraan yang terjadi dalam RUU ini dikhawatirkan akan membuka celah delegitimasi tembakau sebagai produk legal yang berujung kriminalisasi petani dan seluruh pihak yang terlibat dalam rantai pasok tembakau serta produk turunannya. Hal ini, salah satunya juga disampaikan oleh Guru Besar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana. “Dampaknya terhadap industri hasil tembakau ini pasti mati, orang akan dilarang dan ditangkap polisi, Pemerintah harus bijak dalam membuat aturan,” ujarnya.

Pasal Lainnya

Selain pasal 154, Siti juga menyoroti sejumlah pasal lain yang berpotensi berbahaya dalam RUU Kesehatan. Pasal tersebut antara lain, Pasal 156 yang mengatur terkait standardisasi kemasan bagi produk tembakau, khususnya akan diatur lebih lanjut melalui Peraturan Menteri Kesehatan.

“Dalam draf dan daftar inventarisasi masalah yang tersebar, terlihat Kementerian Kesehatan ingin jadi penguasa tunggal isu tembakau di Indonesia karena itu mereka memasukkan ayat yang inkonstitusional, yakni membuat perihal teknis ke dalam  undang-undang,” ujarnya.

Siti pun mewanti-wanti bahwa pelolosan RUU ini akan memberikan citra diktator otoriter dan kesewenang-wenangan pada pemerintah dalam hal pengaturan kebijakan kesehatan.