<p>Ilustrasi kantor Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan RI, di kawasan Gatot Subroto, Jakarta. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Industri

Konsumsi Masih Tertahan, Pajak Sembako Premium Ancam Bisnis Retail

  • Kemenkeu menegaskan pajak sembako diterapkan untuk komoditas premium. Di sisi lain pengenaan PPN sembako disebut merugikan banyak pihak.

Industri

Muhamad Arfan Septiawan

JAKARTA – Rencana Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memungut pajak pertambahan nilai (PPN) sembilan bahan pokok (sembako) untuk komoditas premium dinilai merugikan banyak pihak. Penerapan PPN untuk sembako justru menghambat konsumsi masyarakat hingga mengancam bisnis retail.

Direktur Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira masyarakat kelas atas masih menahan konsumsinya. Meski pendapatan orang kaya tidak terlalu terdampak pandemi COVID-19, namun hal ini tidak menjamin kelas tersebut bakal melakukan konsumsi secara masif.

Menurut Bhima, kenaikan PPN ini justru menghambat konsumsi kelas atas. Pada akhirnya, sektor ritel lah yang bakal terancam kelangsungan usahanya.

“Kalau ada pengetatan mobilitas karena kasus naik yang rugi juga pelaku usaha retail, logistik, sampai warung pinggir jalan karena turunnya minat masyarakat belanja. Harga barang seharusnya dibuat jadi lebih terjangkau bagi konsumen. Bukan sebaliknya ya justru naikan tarif PPN bahkan memperluas objek PPN,” kata Bhima kepada TrenAsia.com, Kamis, 17 Juni 2021.

Bhima menyebut Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) pada Mei 2021 yang sudah menyentuh 104,4 atau level optimis tidak cukup untuk memotret dorongan konsumsi masyarakat.

Pemerintah, kata Bhima, seharusnya bisa melakukan intervensi kebijakan dengan menggugah konsumsi lewat pelonggaran pajak, bukan malah menaikkan tarifnya.

Protes terhadap PPN juga disuarakan oleh Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Kebijakan Publik Sutrisno Iwanto.

Menurutnya, komponen pajak ini masih bisa berimplikasi terhadap masyarakat kelas bawah karena ada potensi “orang-orang kaya” melakukan belanja sembako tidak kena pajak dalam kapasitas tinggi. Kemampuan konsumsi yang lebih banyak, kata Sutrisno, bisa menjadikan produk sembako menipis karena diborong oleh masyarakat berpendapatan tinggi.

Akhirnya, hal ini berefek terhadap peningkatan harga sembako serta semakin mempersulit akses masyarakat ekonomi lemah untuk melakukan belanja kebutuhan pokok tersebut.

“Dengan pengertian income-nya tetap, harganya naik maka tingkat kesejahteraan menjadi turun. Apalagi kalau sebagian besar dari UMKM dan lapisan bawah yang paling terpuruk saat pandemi ini,” kata Sutrisno dalam diskusi virtual beberapa waktu lalu.

Demi Genjot Penerimaan Pajak 2022

Sementara itu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyatakan penerapan PPN sembako hanya berlaku bagi komoditas premium. Pungutan ini juga menjadi jalan pintas Kemenkeu menggenjot penerimaan pajak pada 2022.

Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara menyebut kebijakan ini menerapkan prinsip pajak progresif yang berkeadilan.

“Niat pemerintah bukan hanya sekadar menaikkan lebih banyak pendapatan, tapi memastikan ada kesetaraan dalam hal prinsip perpajakan,” kata Suahasil dalam Peluncuran Indonesia Economic Prospects – June 2021 Edition oleh Bank Dunia, Kamis, 17 Juni 2021.

Suahasil menimbang masyarakat kelas atas masih minim atas kontribusi pajak. Padahal, komponen konsumsi “orang kaya” ini jauh lebih banyak ketimbang masyarakat menengah ke bawa.

Bagi orang super kaya, Kemenkeu juga menyiapkan kenaikan tarif pajak penghasilan (PPh) yang nilainya maksimal mencapai 35%. Hal ini dilakukan demi menggenjot penerimaan pajak yang ditargetkan mencapai Rp1.499,3 triliun hingga Rp1.528,7 triliun pada 2022.

“Saatnya bagi anggaran kita untuk memulihkan dirinya, Kami ingin juga meningkatkan rasio perpajakan tetapi kami akan melakukannya dengan cara yang sangat berhati-hati,” ucap Suahasil. (LRD)