Kontribusi Kredit Hijau Baru 24 Persen, OJK Ungkap Tantangan Perbankan untuk Pembiayaan Berkelanjutan
- Dukungan kapasitas sumber daya manusia juga menjadi faktor penting yang perlu ditingkatkan untuk mendorong keberhasilan penyaluran kredit hijau di Indonesia.
Perbankan
JAKARTA - Perbankan di Indonesia masih menghadapi tantangan dalam penyaluran kredit hijau yang mendukung keuangan berkelanjutan. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Dian Ediana Rae, mengungkapkan bahwa hingga saat ini, sekitar 24% dari total kredit perbankan telah dialokasikan untuk pembiayaan berkelanjutan, sesuai dengan data implementasi Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan (RAKB) pada Desember 2022.
Namun, meskipun telah ada peningkatan, penyaluran kredit hijau masih menghadapi sejumlah hambatan.
- 11 Cara Mengatur Keuangan Rumah Tangga
- Mengenal Grameen Bank Milik PM Sementara Bangladesh Muhammad Yunus
- Ingin Beli Mobil Bekas? Ikuti Tips-Tips Berikut Supaya Tidak Zonk!
Regulasi OJK dan Tantangan Implementasi Kredit Hijau
Menurut Dian Ediana Rae, OJK telah menerbitkan Peraturan OJK (POJK) No. 51/2017 yang salah satunya mengatur kebijakan penyaluran kredit yang mendukung keuangan berkelanjutan. Namun, beberapa tantangan masih menghambat perkembangan ini.
"Dukungan kebijakan insentif dari pemerintah untuk sektor riil, ketersediaan data dan transparansi informasi atas proyek hijau, kebutuhan teknologi dan keahlian terkait proyek hijau yang masih terbatas, serta kebutuhan pembiayaan yang besar, menjadi beberapa tantangan utama," ujar Dian melalui jawaban tertulis, dikutip Senin, 12 Agustus 2024.
Selain itu, dukungan kapasitas sumber daya manusia juga menjadi faktor penting yang perlu ditingkatkan untuk mendorong keberhasilan penyaluran kredit hijau di Indonesia.
Porsi Kredit Perbankan ke Sektor Pertambangan
Selain tantangan dalam penyaluran kredit hijau, porsi kredit yang disalurkan perbankan ke sektor tambang dan energi yang kurang ramah lingkungan juga masih menjadi perhatian.
Berdasarkan Statistik Perbankan Indonesia (SPI) Juni 2024, penyaluran kredit ke sektor pertambangan dan penggalian mencapai sekitar 8% dari total kredit.
Meskipun relatif kecil dibandingkan dengan sektor lainnya, namun tetap menjadi perhatian dalam konteks keberlanjutan lingkungan.
Baca Juga: EV Dicap Lebih Hijau tapi Listrik Masih dari Batu Bara, Inilah Rekomendasi dari AEER
Kewajiban Bank Mempertimbangkan Dampak Lingkungan
Dian Ediana Rae menjelaskan bahwa dalam pemberian kredit ke sektor pertambangan, bank diwajibkan untuk mempertimbangkan dampak lingkungan.
"Bank harus memastikan bahwa proyek yang didanai memiliki sertifikat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagai bagian dari pertimbangan dalam penetapan kualitas kredit," ungkapnya. Hal ini sejalan dengan aturan yang tertuang dalam POJK No. 40/2019 dan POJK No. 51/2017.
- Pengenaan Cukai pada Makanan Cepat Saji Dinilai Rugikan UMKM
- IHSG dan Saham Big Banks Kebakaran di Tengah Eskalasi Konflik Timur Tengah
- Whoosh Kelimpungan Bayar Utang, Jumlah Penumpang Tak Sesuai Target
Upaya OJK Mendukung Keuangan Berkelanjutan
Dalam upaya lebih lanjut untuk mendukung keuangan berkelanjutan, OJK juga telah mengembangkan Taksonomi Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI), yang merupakan transformasi dari Taksonomi Hijau Indonesia Edisi 1.0.
TKBI ini berfungsi sebagai panduan bagi bank dalam meningkatkan alokasi modal dan pembiayaan berkelanjutan, sekaligus mendukung pencapaian target Net Zero Emission Indonesia.
Pandangan Perbankan Terhadap Sektor Pertambangan di Masa Depan
Terkait dengan kesulitan perbankan dalam mengurangi penyaluran kredit ke sektor tambang, Dian Ediana Rae menjelaskan bahwa bank akan tetap mempertimbangkan potensi bisnis jangka panjang, serta kepentingan nasional dan dukungan kepada pemerintah.
"Dalam perencanaan strategi ke depan, beberapa bank telah memiliki target Net Zero Emission untuk mendukung target pemerintah pada tahun 2060, dengan mempertimbangkan bauran penyaluran portofolionya," tambahnya.