Menteri Investasi atau Kepala Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia
Nasional

Kontroversi Bahlil: Membabat 2 Juta Hektare Hutan Demi Manisnya Gula

  • Proyek ambisius ini digadang-gadang akan memberikan kekuatan swasembada gula dan bioetanol bagi industri dalam negeri.

Nasional

Muhammad Imam Hatami

MERAUKE - Pemerintah Indonesia berencana membangun perkebunan tebu raksasa di Merauke, Papua Selatan, dengan luas mencapai 2 juta hektare. 

Proyek ambisius ini digadang-gadang akan memberikan kekuatan swasembada gula dan bioetanol bagi industri dalam negeri.

Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia mengungkap tahap awal proyek ini akan diawali dengan pembibitan tebu di lahan seluas 120 hektare oleh PT Global Papua Abadi dan PT Murni Nusantara Mandiri.  

Menurut Bahlil Nilai investasi mencapai US$8 miliar, setara Rp130 triliun (asumsi kurs Rp16.252). Bibit tebu diimpor dari Australia dan proses pembibitan diperkirakan memakan waktu 11 bulan.

"Kepentingan nasional terwujud, ketahanan pangan. Investasinya berkembang, dapat untung, tapi masyarakat lokal dan daerah juga mendapatkan bagian. Tidak boleh diabaikan. Ini satu kesatuan," terang Bahlil di Jakarta, 16 Mei 2024 lalu.

Komitmen Pemerintah dan Nilai Investasi

Pemerintah telah memasukkan proyek ini dalam skema Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang akan melibatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). 

Selain pembangunan perkebunan, pemerintah juga berencana membangun infrastruktur penunjang seperti jalan dan industri udara untuk mendukung proyek tersebut.

Total nilai investasi yang diharapkan mencapai US$8 miliar atau sekitar Rp130 triliun (kurs Rp16.290)

"Sumber dana pembangunan kebun tebu ini akan dicampur antara investasi dari perusahaan milik negara dan swasta dalam rangka percepatan swasembada gula," terang Bahlil kepada media di Jakarta, 29 April 2024 yang lalu.

Babat Rumah Satwa dan Suku Adat

Salah satu kritik utama yang disampaikan banyak aktivis adalah potensi kerusakan hutan hujan Papua, yang merupakan rumah bagi 40% hutan primer Indonesia. 

Organisasi media nirlaba, Mongabay menuturkan sejak tahun 2000 hingga 2022, Papua telah kehilangan 688.438 hektar hutannya. 

Pada tahun 2023 saja, angka deforestasi meningkat sebesar 55.981 hektare. Saat ini, dari total 2 juta hektare yang dialokasikan untuk proyek perkebunan tebu, sekitar 25.654 hektare masih berupa hutan alam. 

Banyak LSM khawatir proyek perkebunan tebu ini akan memperparah laju deforestasi, mirip dengan apa yang terjadi pada perkebunan sawit, kebun energi, dan pertambangan lainya yang ujung-ujungnya membabat rumah satwa liar. Selain itu, pembukaan lahan untuk perkebunan tebu dapat memicu peningkatan emisi gas rumah kaca.

Kondisi tersebut tentunya bertentangan dengan komitmen Indonesia dalam Perjanjian Paris untuk memerangi krisis iklim. 

Hutan Papua dianggap sebagai benteng terakhir hutan Indonesia, kehilangan hutan ini dinilai akan berdampak besar terhadap keseimbangan ekosistem dan iklim global.

LSM dan masyarakat adat mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang rencana ini.  Mereka menekankan pentingnya melibatkan masyarakat adat dalam pengambilan keputusan serta mempertimbangkan solusi yang lebih berkelanjutan untuk mencapai swasembada gula dan bioetanol. 

Langkah-langkah alternatif yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan harus diprioritaskan guna menjaga kelestarian hutan Papua dan komitmen iklim Indonesia.