PT Indofarma Tbk (INAF)
BUMN

Kontroversi Indofarma: Pandang Bulu Cicil Gaji Karyawan

  • Karyawan dengan level jabatan lebih rendah mengalami beban finansial yang lebih berat dengan penundaan pembayaran gaji dengan presentasae tinggi, dibandingkan dengan karyawan di level jabatan yang lebih tinggi

BUMN

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA – PT Indofarma (Persero) Tbk, saat ini tengah dilanda kasus dugaan fraud yang berpotensi merugikan negara hingga Rp470 miliar. 

Kasus ini mencuat setelah audit internal perusahaan mengungkap adanya indikasi penyimpangan dana dalam beberapa proyek pengadaan obat dan alat kesehatan (alkes).

Akibat dari kasus ini, Indofarma mengalami keterlambatan pembayaran gaji karyawan untuk periode Januari hingga Mei 2024. 

Kondisi ini memaksa perusahaan untuk menerapkan sistem pembayaran gaji bertahap dengan menggunakan sistem gradasi berdasarkan level jabatan, yang menghasilkan dampak berbeda bagi berbagai tingkat karyawan. 

Dilansir laporan tertulis Indofarma kepada Bursa Efek Indonesia, Direktur Utama Indofarma, Yeliandriani mengungkap, pada bulan Januari, seluruh karyawan dari berbagai level jabatan menerima pembayaran gaji sebesar 50% dari yang seharusnya mereka terima. 

Namun, mulai bulan Februari, pembayaran gaji mengalami penurunan signifikan terutama bagi karyawan di level staf yang hanya menerima 10% dari gaji mereka hingga bulan Mei.

Asisten manajer juga merasakan penurunan yang substansial, pembayaran gaji mereka berkurang menjadi 30% dari gaji penuh mulai Februari dan bertahan di level tersebut hingga akhir periode. 

Sementara itu, manajer menerima 40% dari gaji mereka dari Februari hingga Mei. 

Di sisi lain, posisi yang lebih tinggi seperti manajer umum, direksi, komisaris, dan organ komisaris, mengalami stabilitas dengan tetap menerima 50% dari gaji mereka tanpa perubahan sepanjang periode Januari hingga Mei.

Kondisi ini mencerminkan perbedaan signifikan dalam penanganan dan kebijakan pembayaran gaji di berbagai level jabatan di Indofarma selama periode krisis ini. Di mana karyawan dengan level jabatan lebih rendah mengalami beban finansial yang lebih berat dibandingkan dengan karyawan di level jabatan yang lebih tinggi.

Keterlambatan pembayaran gaji ini disebabkan oleh beberapa faktor. 

Pertama, keterbatasan modal kerja perusahaan yang mengakibatkan tingkat produksi yang tidak optimal serta pasokan produk dari entitas anak usaha yang tidak memadai. 

Kedua, dampak dari kasus dugaan fraud yang merugikan perusahaan senilai Rp470 miliar turut memperparah situasi.

Indofarma kini hanya fokus memproduksi obat untuk memenuhi kontrak dari pemerintah.

Selain itu, direksi dan komisaris baru telah ditunjuk yang diharapkan dapat membawa perubahan positif bagi perusahaan. 

Pemerintah juga akan melakukan audit eksternal dan memperkuat tata kelola perusahaan guna menghindari kasus serupa di masa depan.

Histori Keuangan

Kesulitan keuangan yang dihadapi Indofarma bukan baru-baru ini terjadi. Lebih dari satu dekade lalu, Indofarma pernah melakukan kuasi reorganisasi.

Kuasi reorganisasi merupakan upaya memperbaiki tampilan neraca keuangan dengan menilai kembali akun aktiva dan kewajiban pada nilai wajar dan mengeliminasi saldo laba negatif. Saldo laba digunakan sebagai dana cadangan yang dapat digunakan untuk investasi di masa mendatang maupun untuk pengembangan perusahaan bahkan untuk keperluan yang tidak pasti.

Saat itu, perseroan mengeliminasi saldo akumulasi kerugian atau defisit per tanggal 30 September 2011 sebesar Rp57,66 miliar.

Tapi per September 2023, saldo laba negatif Indofarma bukannya berubah jadi positif melainkan bengkak jadi minus Rp807,99 miliar. Nilai itu memburuk dari posisi per 31 Desember 2022 yang negatif Rp616,29 miliar. 

Tidak hanya itu, utang Indofarma bahkan sudah melampaui nilai aset. Berdasarkan laporan keuangan kuartal III-2023, liabilitas Indofarma bertambah jadi Rp1,59 triliun dari Rp1,44 triliun pada akhir 2022.

Sementara, jumlah aset Indofarma berjumlah Rp1,49 triliun. Nilai asetnya menyusut dari Rp1,53 triliun pada 31 Desember 2022. Dengan kata lain, jika seluruh aset dijual untuk membayar pinjaman, Indofarma masih harus nombok sisa utang sebesar Rp105,35 miliar.

Porsi liabilitas Indofarma didominasi oleh utang jangka pendek senilai Rp1,15 triliun. Pada pos ini, Indofarma paling banyak berutang kepada pihak ketiga yang nilainya mencapai Rp447 miliar. Disusul utang pajak Rp211 miliar, utang ke pemegang saham Rp199 miliar, pinjaman bank jangka pendek Rp153 miliar, dan sebagainya.

Kemudian pada pos liabilitas jangka panjang Indorfarma menanggung sejumlah Rp439,94 miliar. Beban terberat pada pos ini adalah utang ke pemegang saham yang nilainya sebesar Rp414,65 miliar.

PKPU

Carut marut keuangan mengharuskan Indorfarma bertaruh di ranah hukum. Mereka telah mengajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) kepada PT Foresight Global, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa outsourcing.

Permohonan PKPU ini disetujui oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 28 Maret 2024. Emiten tersebut diberi waktu PKPU selama 42 hari sejak putusan PKPU diumumkan.

Selama periode PKPU ini, Indofarma akan melakukan upaya restrukturisasi utang-utangnya kepada para kreditornya secara menyeluruh, dengan menyusun rencana-rencana yang akan dijelaskan dalam sebuah proposal perdamaian.

“Adanya putusan PKPU ini tidak berdampak secara langsung pada operasional. Perusahaan akan tetap beroperasi sebagaimana mestinya dengan tetap berkoordinasi dengan tim pengurus yang ditunjuk pengadilan sesuai ketentuan perundang-undangan,” ungkap Yeliandriani.

Di samping itu, Indofarma juga dituduh melakukan kecurangan (fraud). Manajemen INAF menyatakan bahwa indikasi fraud yang terungkap dalam audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) saat ini sedang dalam proses audit investigasi lebih lanjut.