Nampak sejumlah pekerja tengah menyelesaikan proyek kereta cepat Jakarta Bandung di kawasan Cikunir Bekasi, Jumat 3 September 2021. Foto : Panji Asmoro/TrenAsia
Nasional

Kontroversi Kereta Cepat hingga Dugaan Jebakan Utang dari China

  • Seperti halnya yang terjadi di Srilanka, negara tersebut terpaksa menyerahkan aset Pelabuhan Internasional Hambantota kepada China setelah gagal membayar pinjaman.
Nasional
Aprilia Ciptaning

Aprilia Ciptaning

Author

JAKARTA - Tak kunjung rampung, proyek Kereta Cepat Jakarta- Bandung (KCJB) kembali ramai diperbincangkan. Sejumlah pihak menilai pembangunan ini sia-sia belaka alias hanya membuang-buang duit negara. 

Pasalnya, target awal yang ditetapkan bisa rampung pada 2019 ini terus molor hingga kini. Bahkan, proyeksi sarana penunjang lain juga baru selesai pada 2022.

Selain itu, proyek yang digarap oleh PT Konsorsium Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) ini juga dinilai belum dapat dipastikan bakal untung atau buntung. Tak hanya pengembalian biaya (cost recovery) yang membutuhkan waktu lama, biaya perawatan pun dianggap akan melambung ke depannya.

Seperti diketahui, groundbreaking proyek ini dilakukan pertama kali pada 21 Januari 2016. Presiden Joko Widodo meresmikan peletakan batu pertama di Perkebunan Mandalawangi Maswati, Cikalong Wetan, Bandung Barat, Jawa Barat.

Namun, seiring berjalannya waktu, proses pembangunan KCIC sempat mengalami hambatan. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) pada waktu itu menghentikan sementara pengerjaan proyek pada 2-20 Maret 2020.

Alasannya, pembangunan proyek kereta cepat ini dianggap sebagai penyebab banjir yang terjadi di Bekasi selama dua bulan. KCIC diminta bertanggung jawab atas genangan air di Tol Jakarta-Cikampek yang menjadi penyebab kemacetan serta mengganggu kelancaran logistik.

Dalam surat bernomor BK.03.03-Komite KZ/2S PUPR menjelaskan kesalahan KCIC lainnya, yaitu kurang memperhatikan kelancaran akses keluar-masuk jalan tol, pengelolaan sistem drainase yang buruk, pembangunan pilar Light Rail Transit (LRT) tanpa izin, hingga permasalahan keselamatan dan kesehatan kerja (K3).

Kemunculan China gugurkan kesepakatan dengan Jepang

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan menerima kunjungan dari Menteri Luar Negeri China, Wang Yi pada Selasa, 12 Januari 2021 di Parapat, Sumatra Utara. / Dok. Kemenko Marves

Diketahui, inisiasi proyek KCIC ini sebenarnya sudah ada sejak periode kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun, eksekusinya baru bisa dilaksanakan di masa kepemimpinan Presiden Jokowi.

Pada mulanya, proyek kereta cepat akan dibangun melalui kerja sama dengan Jepang. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sudah melakukan studi kelayakan dengan Japan Internasional Corporation Agency (JICA) pada 2014.

Bukan untuk Jakarta-Bandung, studi itu awalnya membahas pembangunan kereta semi cepat Jakarta-Surabaya sepanjang 748 kilometer, dengan estimasi waktu tempuh selama 5,5 jam. Modal yang dikeluarkan JICA untuk menalangi dana studi tersebut mencapai US$3,5 juta.

Hasilnya, JICA memperkirakan perhitungan investasi mencapai US$6,2 miliar dengan porsi pendanaan sebesar 75% dari mereka, dan sisanya oleh pemerintah Indonesia. Pendanaan yang ditawarkan Jepang tersebut berupa pinjaman bertenor 40 tahun dengan bunga 0,5% per tahun.

Setelah dilakukan perembugan, pemerintah pun memutuskan untuk membangun kereta cepat secara bertahap. Alhasil, rute awal yang dibangun adalah Jakarta-Bandung sepanjang 150 km, sedangkan Jakarta-Surabaya masuk ke rencana berikutnya.

Kendati studi kelayakan dilakukan bersama JICA, pemerintah tetap membuka peluang bagi negara-negara yang tertarik mengikuti lelang proyek tersebut. Lalu, China masuk dan menawarkan diri sebagai investor tandingan Jepang. Negeri Tirai Bambu itu menyerahkan proposal kepada pemerintah Indonesia pada 11 Agustus 2015.

Terkait hal ini, kedua negara tersebut berlomba menawarkan pendanaan. Dari Jepang, pinjaman yang awalnya berbunga 0,5% per tahun diturunkan menjadi 0,1% per tahun. Adapun jangka waktunya 40 tahun dan masa tenggang 10 tahun. Di samping itu, Jepang juga menawarkan untuk mengadakan program peningkatan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) produk Indonesia.

Sementara itu, China menawarkan pinjaman US$5,5 miliar dengan jangka waktu 50 tahun dan tingkat bunga 2% per tahun. 

Perbedaan dari penawaran keduanya terletak pada jaminan. Jika Jepang menginginkan ada jaminan dari pemerintah, China menawarkan sebaliknya. Dengan kata lain, China siap mengeksekusi proyek dengan skema business to business alias tak membutuhkan jaminan dari pemerintah.

Setelah dilakukan evaluasi bersama Boston Consulting Group yang ditunjuk oleh pemerintah, Indonesia lebih memilih China sehingga Jepang pun gugur.

Tuai penolakan sejak awal, kini dana membengkak

Presiden Joko Widodo (Jokowi) meninjau konstruksi proyek kereta cepat Jakarta-Bandung di dua lokasi di Bekasi, Jawa Barat, Selasa, 18 Mei 2021. / Tangkapan layar Youtube Setkab

Dari sini, PT Kereta Cepat Indonesia Cina (KCIC) pun dibentuk, yakni pada 2015. KCIC terdiri dari PT Pilar Sinergi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Indonesia dan China Railway Group Limited (CREC). Untuk pembangunan proyek ini, konsorsium Indonesia memiliki 60% saham, sementara konsorsium Cina memliki 40%.

Adapun PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia sendiri beranggotakan empat perusahaan pelat merah, yakni PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (WIKA) menggenggam kepemilikan saham sebesar 38%, PT Perkebunan Nusantara VIII (Persero) dan PT Kereta Api Indonesia (Persero) masing-masing 25% saham, dan PT Jasa Marga (Persero) Tbk (JSMR) sebesar 12% saham.

Dari awal proyek ini digaungkan, sebenarnya sudah mendapatkan penolakan, salah satunya dari Ignasius Jonan, Menteri Perhubungan saat itu. Ia menolak memberikan izin karena proyek ini dianggap bakal menjadi beban pemerintah jika pembangunannya mangkrak.

Ia juga bersikeras agar pembangunan proyek kereta cepat ini tidak menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). “Harus pakai swasta, tidak boleh pakai APBN,” kata Jonan kala itu.

Seperti diketahui, pada mulanya proyek ini memang didanai dengan skema B2B tanpa melibatkan APBN. Namun, seolah kena imbasnya, pendanaan proyek KCIC sekarang justru membengkak.

Nilai proyek yang awalnya hanya memakan biaya US$6,07 miliar atau setara Rp86,19 triliun (asumsi kurs Rp14.217 per dolar AS), kini menjadi sekitar US$8 miliar atau Rp113,73 triliun. Dapat dikatakan, estimasi pembengkakan anggaran mencapai US$1,9 miliar atau setara Rp27,01 triliun.

Jika disetarakan dengan anggaran subsidi upah yang masing-masing mendapatkan Rp1 juta, dana sebesar Rp27,01 triliun ini bisa disalurkan kepada 27,7 juta pekerja. Selain itu, biaya pembengkakan ini juga bisa dialokasikan untuk bantuan sosial (bansos) yang menyasar 45 juta orang (estimasi besaran bansos Rp600.000 per orang).

Sementara itu, investasi proyek kereta cepat sendiri berasal dari pinjaman China Development Bank (CDB) sebesar 75% yang nilainya US$4,5 miliar atau setara Rp64,72 triliun. Adapun 25% sisanya dari ekuitas konsorsium BUMN Indonesia. 

Harus memutar otak agar proyek ini terus berlanjut, pemerintah pun melalui PP 93/2021 sudah berencana mengucurkan Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp4,3 triliun untuk proyek ini. 

Namun, dana yang rencananya disalurkan pada 2020, harus dipending karena harus dialihkan untuk penanganan pandemi COVID-19. Pemerintah dalam hal ini melakukan realokasi dan refocusing APBN untuk program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

PMN Rp4,3 triliun tersebut nantinya digunakan untuk pemenuhan base equity capital, dengan porsi KAI Rp440 miliar, kemudian WIKA Rp240 miliar, Jasa Marga Rp540 miliar dan PTPN VIII Rp3,14 triliun.

Berbalik haluan, tak sesuai prinsip awal

Nampak sejumlah pekerja tengah menyelesaikan proyek kereta cepat Jakarta Bandung di kawasan Cikunir Bekasi, Jumat 3 September 2021. Foto : Panji Asmoro/TrenAsia

Jika menilik harapan awal, Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung ditetapkan sebagai salah satu Proyek Strategis Nasional. Hal ini tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 3 tahun 2016 tentang Percepatan Proyek Strategis Nasional.

Nantinya, ia akan diintegrasikan dengan moda transportasi LRT dan Moda Raya Terpadu (MRT) di DKI Jakarta. Tak lain agar jarak dan waktu lebih efisien karena bisa ditempuh dalam selama 35 menit, dengan laju kecepatan 250 kilometer per jam.

Adapun harga tiket yang akan dipatok sekitar Rp225.000. Kereta cepat yang dimulai dari kawasan Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, hingga kawasan Tegal Luar, Kabupaten Bandung ini juga akan tersambung dengan stasiun-stasiun dalam kota hingga Kabupaten Bandung.

Namun, sekarang bukan rahasia umum lagi bahwa pemerintah kelimpungan dalam membiayai proyek tersebut. Kendati awalnya prinsip pendanaan tak menjawil APBN sepeser pun, sekarang pemerintah malah berbalik arah. 

Seperti diketahui, Jokowi belum lama ini merevisi peraturan mengenai pembangunan proyek kereta cepat di Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung.

Ada empat poin perubahan, salah satunya mengizinkan penggunaan APBN untuk pembangunan proyek jalur sutra (Belt and Road Initiative) di KCIC.

Adapun tiga lainnya adalah pembentukan komite baru yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dan beranggotakan Menteri Keuangan, Menteri Badan Usaha Milik Negara, dan Menteri Perhubungan (Pasal 3A).

Komite tersebut bertugas melakukan rencana penyertaan modal negara kepada pimpinan konsorsium BUMN untuk keperluan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.

Selanjutnya, pemerintah menunjuk KAI sebagai pemimpin konsorsium BUMN, serta terakhir adalah penugasan Jokowi kepada Menteri Perhubungan untuk melakukan pengawasan dan pembinaan teknis pembangunan, termasuk sarana dan prasarana kereta cepat.

Jebakan utang, belajar dari kasus Srilanka

Ilustrasi utang negara / TrenAsia-Deva Satria

Kasus yang dialami pemerintah Indonesia ini seperti tak jauh berbeda dengan negara berkembang lain yang menjalin kerja sama dengan China. Banyak pihak yang beranggapan, proyek ini adalah jebakan utang dari China. Seperti halnya yang terjadi di Srilanka, negara tersebut terpaksa menyerahkan aset Pelabuhan Internasional Hambantota kepada China setelah gagal membayar pinjaman.

Tercatat, pada 2008 Srilanka membangun proyek di atas kemitraan publik-swasta antara Sri Lanka Ports Authority dengan China Merchants Port Holdings (HIPG).

Pelabuhan ini dibangun di sepanjang pantai selatan pulau Samudra Hindia dan memakan anggaran sebesar US$1,5 miliar atau sekitar Rp21 triliun. Dalam menjalankan proyek itu, sebanyak US$1,1 miliar didapatkan dari pinjaman yang diberikan oleh China.

Seiring berjalannya waktu, Srilanka kesulitan membayar utang hingga akhirnya pada 2016, pengelolaan pelabuhan itu diserahkan kepada China. Berdasarkan laporan dari Asian Review, kesepakatan yang dihasilkan pada Desember 2017 menghasilkan poin bahwa imbalan China atas utang tersebut berupa kepemilikan saham sebesar 85%. Selain itu, China juga mengantongi sewa dari pelabuhan itu selama 99 tahun.

Padahal, laporan dari Bank Sentral Srilanka menyebutkan, utang luar negeri Srilanka yang sebesar US$55 miliar per 2019, sekitar 10% berasal dari China. 

Kasus itu pun banyak dikritik sebagai strategi diplomasi utang China yang kerap memberikan pinjaman kepada negara berkembang demi keuntungan satu pihak semata.

Lantas, apakah pembangunan KCIC di Indonesia akan bernasib sama, jebakan utang dari China?