Kontroversi LPEI: Terbelit Duniatex, Kini Tersangkut Korupsi
- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru saja menetapkan tersangka dalam dugaan korupsi berupa fraud di LPEI. Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, menyatakan sudah cukup alat bukti untuk menetapkan tersangka di kasus tersebut.
IKNB
JAKARTA—Badai besar terus menggoyang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Setelah didera kredit bermasalah bernilai puluhan triliun, kini lembaga di bawah Kementerian Keuangan itu tersangkut kasus dugaan korupsi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru saja menetapkan tersangka dalam dugaan korupsi berupa fraud di LPEI. Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, menyatakan sudah cukup alat bukti untuk menetapkan tersangka di kasus tersebut.
Namun Alex tidak merinci jumlah dan identitas tersangka dalam kasus fraud di LPEI. Dia hanya memastikan surat perintah penyidikan (sprindik) sudah terbit. “Berdasarkan kecukupan alat bukti, penyidik meyakini patut diduga seseorang sebagai pelaku tindak pidana,” ujarnya dikutip dari Antara, Rabu, 31 Juli 2024.
Sebagai informasi, ada 11 perusahaan debitur LPEI yang terindikasi melakukan fraud dalam perkara terkait penyaluran kredit ekspor. KPK sebelumnya telah menelaah tiga perusahaan debitur LPEI yang diduga terindikasi fraud.
Ada indikasi kerugian sekitar Rp3,45 triliun pada debitur LPEI berinisial PT PE, PT RII dan PT SMYL. Adapun saat pelaporan terpisah oleh Sri Mulyani, Kejaksaan Agung menerima informasi dugaan fraud penyaluran kredit LPEI senilai Rp2,5 triliun atas nama PT RII, PT SMS, PT SPV dan PT PRS.
Performa LPEI sendiri sejatinya telah oleng sejak beberapa tahun terakhir. Selama periode 2019-2023, akumulasi kerugian LPEI mencapai Rp25,14 triliun akibatnya buruknya kualitas pembiayaan dan piutang. Lembaga dengan nama lain Indonesia Eximbank itu mencatat kerugian Rp4,69 triliun pada 2019.
Sempat Untung
Perusahaan sempat meraih untung masing-masing Rp398,22 miliar dan Rp402,28 miliar pada 2020 dan 2021. Namun LPEI kembali merugi pada 2022 sebesar Rp3,14 triliun dan membengkak hingga Rp18,11 triliun pada 2023.
Kerugian jumbo dari kredit bermasalah itu membuat aset LPEI kian tergerus. Tahun 2019, LPEI masih memiliki aset sebesar Rp108,70 triliun. Namun pada tahun 2023 nilai aset lembaga ini hanya tersisa Rp51,34 triliun. Menguap lebih dari 52,7% hanya dalam 5 tahun.
Memburuknya bisnis LPEI juga terlihat dari pendapatan bunga yang diperoleh dari pembiayaan dan piutang yang disalurkan. Tahun 2023, pendapatan bunga yang diperoleh sekitar Rp4,05 triliun. Padahal tahun 2019 angkanya masih mencapai Rp7,06 triliun.
Performa hancur lebur itu semakin ironis karena LPEI sejatinya adalah “langganan” dikucuri penyertaan modal negara (PMN). Sejak 2010 hingga 2021, LPEI sudah menyedot uang rakyat sebesar Rp28,7 triliun. Namun kinerja LPEI tak kunjung membaik. Tanpa malu-malu, LPEI kembali meminta tambahan PMN sebesar Rp10 triliun tahun ini.
PMN itu disebut untuk menambah kapasitas lima program existing, yaitu trade finance kawasan non tradisional, UKM, alat transportasi, industri farmasi, dan alat kesehatan. “Kami juga menyediakan empat program baru yaitu industri pangan, offshore financing, penjaminan, dan asuransi,” ujar Direktur Eksekutif LPEI, Riyani Tirtoso, dalam rapat bersama DPR, belum lama ini.
Suntikan modal itu diharapkan membuat LPEI tak terpuruk semakin dalam. Masalahnya, problem di lembaga yang didirikan di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini tampak sangat kompleks.
Baca Juga: Ngeri! Lembaga Keuangan Pemerintah Ini Rugi Rp25 Triliun dalam 5 tahun
Informasi yang dihimpun TrenAsia, kredit macet (non-performing loan/NPL) gross LPEI saat ini mencapai Rp32,1 triliun dari pinjaman yang disalurkan senilai Rp73,8 triliun. Artinya, NPL di perusahaan mencapai 43,5%. Jumlah ini meningkat hampir dua kali lipat dari posisi NPL tahun 2019 sebesar 23,39%.
Direksi menyebut memburuknya kualitas kredit di LPEI terjadi sebelum 2018. Grup Duniatex menjadi salah satu debitur awal yang membuat kondisi keuangan LPEI runyam. Sejak 2007, LPEI diketahui memberikan pinjaman atau pembuayaan pada Duniatex mencapai Rp3,05 triliun.
Hal itu terungkap dalam laporan keuangan konsolidasi Duniatex tahun buku 2018. Dari total nilai itu, Rp2,12 triliun berupa kredit modal kerja (KMK) pinjaman jangka pendek (di bawah setahun), Rp755,88 miliar berbentuk pinjaman jangka panjang, dan Rp173,19 miliar berbentuk porsi jangka pendek dari pinjaman bank jangka panjang. Totalnya Rp3,049 triliun.
Sebagai informasi, struktur perusahaan Grup Duniatex terdiri dari PT Delta Dunia Tekstil (DDT), PT Delta Merlin Dunia Textile (DMDT), PT Dunia Setia Sandang Asli Tekstil (DSSA), PT Damaitex, PT Delta Merlin Sandang Tekstil (DMST), PT Delta Dunia Sandang Tekstil (DDST).
Sebagai perbandingan, dalam keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI), disebutkan total dana yang disalurkan LPEI termasuk pada DDT senilai Rp1,2 triliun, DMST Rp1,5 triliun, DMDT Rp54 miliar dan DDST Rp289 miliar. Artinya, total pembiayaan yang disalurkan pada Grup Duniatex mencapai Rp3,04 triliun.
Pemberian pinjaman tanpa prinsip tata kelola yang baik disinyalir membuat kredit macet di LPEI makin meningkat tajam. DPR RI belum lama ini bahkan meminta LPEI ditutup usai banyaknya kredit macet serta kasus feaud di lembaga tersebut. “Mending ditutup saja. Bisnisnya juga tidak kompetitif,” ujar anggota Komisi XI dari Partai Gerindra, Kamrussamad.
Anggota Komisi XI Fraksi PDIP, Andreas Eddy Susetyo, mengatakan selama ini LPEI telah menerima PMN sebesar Rp28,7 triliun. Dia menyayangkan kinerja bisnis LPEI justru merosot usai mendapat guyuran dana sebesar itu. “Bagaimana mau kami berikan (PMN lagi) kalau kinerja keuangan seperti ini,” ujarnya.