Ilustrasi perkebunan tebu.
Hukum Bisnis

Kontroversi Proyek Tebu Papua: Serobot 2 Juta Ha Hutan, Potensi Pelanggaran HAM

  • Proyek yang bertujuan untuk menopang swasembada gula dan produksi bioetanol nasional ini bernilai investasi sebesar US$8 miliar atau sekitar Rp130,28 triliun (kurs Rp16.290) dan termasuk dalam kategori Proyek Strategis Nasional (PSN).
Hukum Bisnis
Muhammad Imam Hatami

Muhammad Imam Hatami

Author

JAKARTA – Pemerintah Indonesia merencakan proyek besar pembangunan perkebunan tebu seluas 2 juta hektare (ha) di Merauke, Papua Selatan.

Proyek yang bertujuan untuk menopang swasembada gula dan produksi bioetanol nasional ini bernilai investasi sebesar US$8 miliar atau sekitar Rp130,28 triliun (kurs Rp16.290) dan termasuk dalam kategori Proyek Strategis Nasional (PSN).

Meskipun ambisius, rencana ini menuai kekhawatiran dan kritik dari berbagai pihak terkait dampaknya terhadap masyarakat adat Papua.

Aktivis dan pegiat lingkungan menyoroti proyek ini cenderung mengabaikan hak-hak masyarakat adat setempat.

Organisasi aktivis lingkungan hidup yang berfokus pada jurnalistik, Mongabay mengkhawatirkan potensi perampasan tanah adat dan ancaman terhadap ruang hidup masyarakat yang bergantung pada hutan.

“Proyek ini berisiko mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan menggerus ruang hidup mereka,” ungkap Franky Samperante, Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Dilansir Mongabay, dilansir Kamis 6 Juni 2024.

Saat ini, proyek perkebunan tebu di Merauke, sudah mulai berjalan dan telah memasuki tahap awal pembibitan seluas 120 hektare. 

Pengembangan ini dilakukan oleh PT Global Papua Abadi (GPA) dan PT Murni Nusantara Mandiri (MNM). 

Bibit tebu yang digunakan diimpor dari Australia, dengan estimasi waktu pembibitan sekitar 11 bulan.

Selain itu, Mongabay juga mengkhawatiran proyek ini dapat memicu konflik agraria dan kelaparan di Papua serta berpotensi menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dengan penempatan militer untuk mengamankan pembangunan. 

“Masyarakat Adat Papua itu sangat bergantung pada hutan. Ketika hutan hilang, sumber kehidupan pasti hilang, dan akan terjadi krisis pangan. Sudah banyak kasus kelaparan di tanah Papua. Ini bisa terjadi lagi dengan ada perkebunan tebu skala besar,” terang Peneliti The Institute For Ecosoc Rights, Sri Palupi.

Mongobay juga mencatat, selama tahun 2023 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menangani setidaknya 113 peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua. 

Angka ini menyoroti kondisi yang masih rawan dan kompleks di wilayah tersebut, di mana pelanggaran HAM terus terjadi secara berulang. 

Sebagai alternatif, aktivis mendesak pemerintah untuk mengembangkan model pertanian berbasis masyarakat yang lebih kecil dan lebih sesuai dengan kebutuhan serta kondisi lokal. 

Model ini dinilai lebih berkelanjutan dan tidak merugikan masyarakat adat. 

Kritik terhadap proyek perkebunan tebu di Papua Selatan ini menunjukkan perlunya keseimbangan antara ambisi pembangunan ekonomi dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. 

Pemerintah diharapkan dapat mengkaji ulang proyek ini dengan mempertimbangkan dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan yang lebih holistik, serta memastikan partisipasi aktif masyarakat adat dalam setiap tahap perencanaan dan pelaksanaannya.