logo
Ilustrasi ATM Link untuk Bank BUMN atau Himbara.
Perbankan

Koperasi Merah Putih: Potensi Kredit Macet dan Risiko Likuiditas Bank BUMN

  • Program Koperasi Merah Putih yang digagas Presiden Prabowo Subianto berpotensi membawa perubahan besar bagi ekonomi desa. Di sisi lain, terobosan itu berpotensi menghadirkan tantangan baru bagi bank BUMN seperti BRI, Bank Mandiri, BNI, dan BTN.

Perbankan

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA - Program Koperasi Merah Putih yang digagas Presiden Prabowo Subianto berpotensi membawa perubahan besar bagi ekonomi desa. Di sisi lain, terobosan itu berpotensi menghadirkan tantangan baru bagi bank BUMN seperti BRI, Bank Mandiri, BNI, dan BTN.

Koperasi Merah Putih diketahui akan hadir di 80.000 desa di seluruh Indonesia. Program ini bertujuan untuk menciptakan pusat ekonomi di pedesaan melalui pembangunan gudang serta enam gerai yang menjual produk pertanian. 

Anggaran yang dibutuhkan berkisar Rp3 miliar hingga Rp5 miliar perdesa, dengan sumber pendanaan utama berasal dari dana desa sebesar Rp1 miliar per tahun yang akan terakumulasi menjadi Rp5 miliar dalam lima tahun.

Sebagai bagian dari implementasi program ini, bank-bank BUMN seperti Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia (BNI), dan Bank Tabungan Negara (BTN) diproyeksikan akan berperan dalam menyalurkan pembiayaan bagi koperasi desa. Namun, keterlibatan bank BUMN ini membawa tantangan tersendiri, terutama dalam aspek risiko kredit dan likuiditas.

Potensi Risiko Kredit Bermasalah (NPL) bagi Bank BUMN 

Salah satu risiko utama dari penyaluran kredit kepada koperasi adalah meningkatnya rasio kredit bermasalah atau nonperforming loan (NPL). 

Berdasarkan data dari Pefindo, sektor koperasi memiliki rasio NPL sebesar 8,5%, yang lebih tinggi dibandingkan rata-rata NPL sektor perbankan lainnya. Kondisi ini berpotensi meningkatkan cost of credit (CoC) atau biaya kredit yang harus ditanggung bank.

“Rasio NPL tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan rasio di sektor lainnya, yang berarti terdapat risiko lebih tinggi di sektor koperasi,” ujar kedua analis BRI Danareksa Sekuritas melalui hasil risetnya, dikutip Selasa, 11 Maret 2025. 

Menurut Analis BRI Danareksa Sekuritas Victor Stefano dan Naura Reyhan Muchlis, jika bank BUMN harus menyalurkan pembiayaan kepada koperasi dengan nominal Rp3 miliar hingga Rp5 miliar per tahun dan rasio NPL tetap pada 8,5%, maka dapat terjadi peningkatan CoC sebesar 49 hingga 82 basis poin (bps). Dampak lanjutannya adalah potensi penurunan laba bank sebesar 11% hingga 56%.

Risiko Likuiditas dan Dampaknya terhadap DPK 

Selain risiko kredit, bank BUMN juga menghadapi potensi tekanan likuiditas akibat program ini. Untuk membiayai koperasi desa, bank perlu mengalokasikan sebagian dari dana pihak ketiga (DPK) mereka. Estimasi menunjukkan bahwa bank pelat merah harus menggunakan sekitar 5% hingga 9% dari total simpanan yang mereka miliki saat ini.

Ketergantungan pada DPK dalam jumlah besar dapat memicu permasalahan likuiditas, terutama jika bank tidak dapat menyeimbangkan antara penyaluran kredit dan penerimaan dana dari masyarakat. 

Hal ini menjadi tantangan besar bagi BRI, yang kemungkinan akan menanggung porsi terbesar dalam penyaluran kredit koperasi, mengingat eksposur Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang sudah tinggi.

Peluang dan Tantangan Koperasi Merah Putih bagi Bank BUMN 

Program Koperasi Merah Putih berpotensi menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi desa yang signifikan. Namun, keterlibatan bank BUMN dalam program ini harus disertai dengan mitigasi risiko yang tepat, mengingat tantangan dalam aspek kredit bermasalah dan likuiditas. 

Bank-bank pelat merah perlu menyiapkan strategi yang matang untuk mengelola eksposur risiko ini agar tetap mampu menjaga kinerja keuangan mereka di tengah meningkatnya beban pembiayaan koperasi.