fergaile romawi.jpg
Sains

Kota Ini Benar-Benar Dihancurkan Romawi Hingga Tidak Dihuni 170 Tahun

  • Kota kuno itu dikepung dan dihancurkan pada tahun 125 SM, mungkin dalam pertikaian mengenai hak kewarganegaraan Romawi.

Sains

Amirudin Zuhri

JAKARTA-Sebuah kota yang dihancurkan oleh bangsa Romawi lebih dari 2.000 tahun  lalu setelah penduduknya memberontak hancur begitu parah. Begitu hancurnya hingga kota itu tidak berpenghuni selama lebih dari 170 tahun. 

Kota itu dikenal sebagai Fregellae, sekitar  90 kilometer di tenggara Roma. Kota itu mengalami pengepungan dan penghancuran oleh tentara Romawi pada tahun 125 SM.

Alasan pemberontakan tersebut tidak diketahui, tetapi para arkeolog menduga hal itu terjadi karena penduduk Fregellae menuntut kewarganegaraan Romawi penuh. Bukan  kewarganegaraan kelas dua dengan hak hukum yang lebih sedikit. Terutama terkait kepemilikan tanah publik  yang telah diberikan oleh Republik Romawi.

Perselisihan yang berlangsung lama ini memuncak dalam Perang Sosial sekitar satu generasi kemudian yakni dari tahun 91 hingga 87 SM. Ini ketika banyak sekutu Romawi di Italia menuntut  dan menerima  kewarganegaraan Romawi penuh.

“Namun hanya ada sedikit catatan sejarah yang bertahan dari masa pemberontakan Fregellae. Jadi  studi arkeologi adalah cara terbaik untuk menentukan apa yang terjadi di sana,” kata Dominik Maschek , seorang profesor arkeologi Romawi di Pusat Arkeologi Leibniz dan Universitas Trier, keduanya di Jerman.

"Hanya disebutkan dalam dua atau tiga sumber," kata Maschek kepada Live Science Senin 30 September 2024. "Kami mendengar tentang pengepungan itu, mereka memberi tahu kami bahwa orang-orang ini memberontak terhadap orang Romawi, tetapi kami tidak tahu mengapa."

Maschek menjelaskan bahwa arkeolog Italia pertama kali menggali situs tersebut pada tahun 1980-an dan menemukan sisa-sisa mural, mosaik lantai, rumah, dan pemandian umum. Ia dan tim peneliti dari Jerman, Italia, dan Swiss telah menggali sebuah vila di tepi kota kuno selama tiga tahun terakhir. Dan  tahun lalu mereka juga menemukan sisa-sisa kamp militer Romawi di dekatnya yang dilindungi oleh tembok benteng dan parit.

Di antara artefak yang ditemukan di lokasi vila tersebut terdapat bejana-bejana tembikar besar untuk menyimpan hasil pertanian. Bejana-bejana ini dan benih-benih kuno yang digali di lokasi tersebut menunjukkan bahwa vila tersebut merupakan pusat pertanian yang menghasilkan anggur, buah-buahan, dan biji-bijian. “Mungkin untuk diekspor ke daerah lain dan mungkin ke luar negeri, kata Maschek. 

Catatan mengenai vila-vila Romawi berukuran serupa menunjukkan bahwa hingga 50 orang mungkin pernah bekerja di sana, banyak dari mereka diperbudak.

Namun kerusakan akibat kebakaran menunjukkan  vila dan tanaman di ladangnya hancur pada saat yang sama dengan kota tetangga. Sebuah dugaan yang didukung oleh "bukti kuat" berupa pecahan tembikar dari masa pemberontakan.

Sekutu Kuno

Fregellae didirikan sebagai kota koloni Roma, tetapi tampaknya kota ini juga mencakup banyak orang keturunan Samnites. Orang  non-Romawi yang awalnya tinggal di wilayah tersebut dan awalnya menjadi musuh Republik Romawi.

Maschek mencatat bahwa masalah relokasi orang Samn ke Fregellae telah dibahas oleh Senat Romawi sekitar 60 tahun sebelum pemberontakan. Tetapi Senat memutuskan bahwa kota Fregellae harus menangani sendiri arus masuk tersebut.

"Keluarga [Samnite] yang pindah ke Fregellae jelas berpikir bahwa mereka akan lebih baik tinggal di kota dengan kewarganegaraan Romawi kelas dua, karena setidaknya mereka memiliki semacam hubungan dengan Roma," katanya.

Beberapa catatan sejarah dari masa itu menggambarkan bagaimana Fregellae dikepung dan dihancurkan oleh pasukan Romawi yang dipimpin oleh Lucius Opimius. Dia adalah seorang praetor Republik Romawi. Jabatan ini adalah hakim terpilih tetapi di bawah dua konsul terpilih yang memimpin negara.

“Tampaknya orang-orang Fregellae telah menunggu sampai kedua konsul Roma memimpin pasukan Romawi di luar negeri sebelum mereka memulai pemberontakan,” kata Maschek, mungkin berharap orang Romawi akan kesulitan mengirim pasukan lagi.

"Mereka tidak bodoh. Mereka telah bertempur bersama bangsa Romawi untuk waktu yang lama, jadi mereka tahu bagaimana cara kerja kampanye Romawi," katanya. "Namun, mereka mungkin tidak memperhitungkan fakta bahwa bangsa Romawi masih memiliki praetor."