Uzbekistan.jpg
Sains

Kota-Kota Jalur Sutra yang Hilang Ditemukan di Pegunungan Uzbekistan

  • Bagian yang paling menantang dalam penemuan ini adalah meyakinkan komunitas akademis bahwa kota-kota ini ada.

Sains

Amirudin Zuhri

JAKARTA- Para arkeolog telah menemukan sisa-sisa dua kota abad pertengahan di pegunungan berumput di Uzbekistan timur. Sebuah penemuan yang dapat mengubah pemahaman kita tentang Jalur Sutra yang melegenda.

Dikenal sebagai jalur pertukaran barang dan gagasan antara Timur dan Barat, jalur perdagangan tersebut telah lama diyakini menghubungkan kota-kota dataran rendah.

Namun, dengan menggunakan teknologi penginderaan jarak jauh, para arkeolog kini telah menemukan setidaknya dua kota dataran tinggi yang terletak di sepanjang persimpangan utama rute perdagangan. 

Salah satu kota  itu adalah Tugunbulak. Sebuah kota metropolitan yang luasnya sekitar 120 hektar dan terletak lebih dari 2.000 m  di atas permukaan laut. Ketinggian yang dianggap tidak layak huni bahkan hingga saat ini.

"Sejarah Asia Tengah kini berubah dengan penemuan ini," kata arkeolog Farhod Maksudov, yang merupakan bagian dari tim peneliti dikutip BBC Jumat 25 Oktober 2024.

Tim meyakini Tugunbulak dan kota yang lebih kecil, Tashbulak, merupakan pemukiman yang ramai antara abad ke-8 dan ke-11 atau  selama Abad Pertengahan. Masa ketika daerah tersebut dikuasai oleh dinasti Turki yang kuat.

Saat ini, hanya 3% dari populasi dunia yang tinggal di atas ketinggian ini. Lhasa di Tibet dan Cusco di Peru adalah beberapa contoh yang langka.

Penemuan dipimpin oleh   Maksudov, Direktur Pusat Arkeologi Nasional Uzbekistan dan Michael Frachetti, seorang arkeolog di Universitas Washington di St Louis. Penemuan ini dimungkinkan dengan adanya drone dan alat penginderaan jarak jauh yang dikenal sebagai lidar. Teknologi yang menggunakan cahaya pantulan untuk membuat pemetaan tiga dimensi lingkungan.

Penelitian mereka diterbitkan dalam jurnal ilmiah Nature minggu ini. Para ahli yang tidak terlibat di dalamnya memuji signifikansinya dalam mengungkap gaya hidup masyarakat nomaden.

Tim pertama kali menemukan Tashbulak, kota yang lebih kecil, pada tahun 2011 saat melakukan perjalanan di pegunungan. Mereka menemukan situs pemakaman, ribuan pecahan tembikar, dan tanda-tanda lain yang menunjukkan wilayah tersebut dihuni.

Frachetti  mengatakan catatan sejarah menyinggung kota-kota di wilayah tersebut. Tetapi tim tidak menyangka akan menemukan kota abad pertengahan seluas 12 hektar pada ketinggian sekitar 2.200 m di atas permukaan laut. “Kami benar-benar terkesima,” kata Frachetti kepada BBC. Bahkan perjalanan ke sana pun sulit. Mereka menghadapi angin kencang, badai, dan tantangan logistik.

Empat tahun kemudian, seorang petugas kehutanan setempat memberi tahu tim untuk mempelajari lokasi lain yang dekat dengan Tashbulak. “Pejabat itu berkata, 'Saya rasa saya punya beberapa keramik semacam itu di halaman belakang rumah saya.'

"Jadi kami pergi ke rumahnya. Dan menemukan rumahnya dibangun di benteng abad pertengahan. Dia seperti tinggal di kota besar,” kata Frachetti.

Bagian Paling Menantang

Bagian yang paling menantang dalam penemuan ini adalah meyakinkan komunitas akademis bahwa kota-kota ini ada.

"Kami akan mengatakan kepada orang-orang bahwa kami menemukan situs yang menakjubkan ini, dan kami akan bersikap skeptis, bahwa mungkin situs ini tidak begitu besar. Atau hanya gundukan tanah, atau kastil. Itulah tantangan besarnya. Bagaimana mendokumentasikan kota ini secara ilmiah untuk menggambarkan seperti apa sebenarnya kota ini," kata  Frachetti.

Pencitraan lidar memungkinkan tim untuk mengungkap dinding dan fitur arsitektur lainnya di Tugunbulak Pada tahun 2022, tim kembali dengan drone yang dilengkapi sensor lidar, yang membantu mengupas permukaan untuk mengungkap tembok, menara jaga, fitur arsitektur rumit, dan benteng lainnya di Tugunbulak.

Para peneliti menduga bahwa masyarakat mungkin memilih untuk menetap di Tugunbulak dan Tashbulak untuk memanfaatkan angin kencang guna menyalakan api. Sesuatu yang dibutuhkan untuk melebur bijih besi, yang merupakan sumber daya alam yang melimpah di wilayah tersebut. Penggalian awal juga telah menemukan tungku produksi.

"Siapa pun yang memegang besi di tangannya pada abad pertengahan sangatlah berkuasa," kata Maksudov.

Namun, hal ini juga dapat menyebabkan kehancuran masyarakat, katanya. Daerah ini dulunya ditutupi oleh hutan juniper yang lebat. Tetapi  hutan tersebut  ditebang untuk memfasilitasi produksi besi. "Daerah tersebut menjadi sangat tidak stabil secara lingkungan karena banjir bandang, karena longsor," katanya.

“Biasanya, para ilmuwan berharap menemukan bukti pemukiman di bagian bawah lembah, jadi penemuan ini luar biasa," kata Peter Frankopan, seorang profesor sejarah global di Universitas Oxford.

"Sungguh harta karun  menakjubkan yang menunjukkan keterkaitan mendalam yang terjadi di Asia, serta kaitan antara eksploitasi sumber daya alam lebih dari satu milenium lalu," katanya.

Zachary Silvia, seorang arkeolog di Universitas Brown mengatakan situs perkotaan di dataran tinggi sangat langka dalam catatan arkeologi. Hal ini  karena masyarakat menghadapi tantangan unik dalam menetap di sana.