KPCDI: Kelas Standar BPJS Harus Dibarengi Pengawasan dan Skema Pembayaran Berkeadilan
- Masih ada gap atau kesenjangan pelayanan kesehatan oleh Rumah Sakit rekanan BPJS Kesehatan, diantaranya terkait akses obat, akses pemeriksaan laboratorium, dan akses memperoleh informasi pelayanan kesehatan.
Nasional
JAKARTA -Ketua umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI), Tony Samosir mengungkapkan masih ada gap atau kesenjangan pelayanan kesehatan oleh Rumah Sakit rekanan BPJS Kesehatan, diantaranya terkait akses obat, akses pemeriksaan laboratorium, dan akses memperoleh informasi pelayanan kesehatan.
“Gap ini termasuk tipe Rumah Sakit antara tipe A dengan tipe di bawahnya yang berbeda tarif pelayanannya. Bayar BPJS-nya sama, iurannya sama tapi tarif pelayanannya berbeda. Ini yang harus diselaraskan, Jakarta dan Papua tidak ada yang beda,” kata Tony Samosir dalam keterangan tertulis, Minggu, 2 Oktober 2022.
Tony menilai layanan antara satu rumah sakit dengan rumah sakit yang lain belum seragam. Ia menekankan, akses pelayanan kesehatan dan aksesibilitas terhadap obat khususnya pasien-pasien yang menjalani cuci darah masih sangat terbatas.
- Gelontorkan Rp3,7 Miliar Lebih, Bukaka Teknik Utama (BUKK) Konsisten Terapkan LST
- Tren Istilah Bisnis: Apa Itu Stakeholder?
- Hutama Karya Habiskan Rp24 Miliar untuk TJSL Tahun Lalu, Ini Penggunaannya
“Cuci darah ini kan seumur hidup, kalau saya cuci darah di tipe D tidak sama dengan cuci darah di tipe A. Padahal penyakitnya sama, tetapi di tipe A obatnya lebih dapat service lebih baik ketimbang di tipe D, ini terkait dengan hak atas obat-obatan,” kata Tony.
Merespon aturan pemerintah terkait kelas standar dari BPJS Kesehatan yang bertujuan untuk pemerataan pelayanan kesehatan, menurut Tony Samosir, BJPS Kesehatan itu idealnya tidak ada kelas 1, kelas 2 dan kelas 3, mengingat hal itu merupakan jaminan sosial. Sehingga sudah seharusnya semua kelas dilebur menjadi satu, sama semuanya.
“Dengan adanya kelas 1, kelas 2 dan kelas 3, maka timbul kesenjangan. Kalau sudah dikotak-kotakkan menggunakan kelas, otomatis berdampak kurang baik untuk pelayanan kesehatan. Nantinya jadi 2 segmen, iuran mandiri jadi Non PBI sedangkan iuran kelas 3 yang dibayar oleh pemerintah menjadi PBI,” terangnya.
Pada dasarnya, dirinya setuju dibuatnya kelas standar, tetapi harus ada pengawasan dan membuat skema pembayaran yang berkeadilan.
“Dibuat kelas standar tapi tarifnya lebih di bawah ya sama saja. Jadi harus benar-benar ditimbang dengan matang,” tegasnya.
Plt. Dirjen Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, drg. Murti Utami menambahkan, penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan global dimana prevalensi gagal ginjal terus meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk.
Ia bilang, apabila dilihat dari beban biaya, gagal ginjal termasuk penyakit berbiaya tinggi, karena sangat berpotensi menimbulkan beban masyarakat.
“Alhamdulillah tahun 2014 ada program Jaminan Kesehatan nasional (JKN) sehingga masyarakat bebas dari biaya,” tambah drg. Murti Utami.
drg. Murti Utami menyebut, pada tahun 2021 kurang lebih ada 126.818 penderita gagal ginjal yang mendapatkan hemodialisasi secara rutin melalui program JKN. Biayanya tidak sedikit, yang sudah dijamin hampir Rp1,7 triliun atau sekitar 22,2% dari total biaya.
Menurutnya, penyakit gagal ginjal menjadi salah satu fokus Penyakit Tidak Menular (PTM) yang memerlukan pendekatan. Pemerintah melakukan beberapa kebijakan dalam pencegahan dan terapinya. Kemenkes menjalankan perbaikan melalui 6 pilar transformasi Kesehatan. Selain pembiayaan juga meningkatkan pelayanan kesehatan rujukan.
“Kita sedang menciptakan sistem pembiayaan kesehatan yang terintegrasi, stabil dan berkesinambungan. Fokus perbaikan dilaksanakan dengan meninjau manfaat JKN, selain itu meningkatkan pencegahan,” terangnya.
Ia menerangkan, pelayanan promotif preventif terus digaungkan, dan sudah dimasukan dalam program JKN yakni screening pada 14 penyakit yang menyebabkan kematian. Pemerintah juga melakukan perbaikan kelas rawat inap standar sehingga pasien tidak mendapatkan infeksi di luar penyakit yang mereka hadapi.
“Kami sangat mengapresiasi Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) yang melaksanakan diskusi, semoga hasil diskusi memberikan manfaat. Kami dari pemerintah akan memperbaiki kebijakan yang ada,” terangnya.
- SWAT Masuk Imbas Digugat Pailit, Ini 136 Saham Dalam Pemantauan Khusus
- Sambut Era Kendaraan Listrik (Serial 4): Apa Keunggulan dan Kekurangan Kendaraan Listrik?
- Poundsterling Melemah Terhadap Dolar, Pemerintah Inggris Terus Awasi Pasar Keuangan
Sementara, direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Kesehatan, dr. Lily Kresnowati menyebut setidaknya ada empat tantangan yang dihadapi BPJS Kesehatan. Pertama, kesiapan Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL).
“Kesiapan seluruh FKRTL untuk menyesuaikan dengan arah rawat inap kelas standar JKN, termasuk pemenuhan dokter spesialis/subspesialis,” katanya.
Kedua, penyesuaian sistem rujukan. Ia bilang bahwa kesiapan untuk menyesuaikan sistem rujukan pelayanan kesehatan sesuai kebijakan terbaru, termasuk sosialisasi kepada peserta.
Ketiga, pembiayaan pelayanan Kesehatan. Meliputi review tarif INA CBG, resiko terhadap pembiayaan JKN. Keempat, penyesuaian iuran JKN.
“Penyesuaian iuran karena perubahan Hak Kelas Rawat Peserta JKN dan perubahan manfaat sesuai kebijakan Kebutuhan Dasar Kesehatan,” ujar Lily.