
KPPU Selidiki Monopoli Mafia LPG Non-Subsidi oleh Pertamina
- Dalam keterangan yang dirilis KPPU, disebutkan bahwa keuntungan dari penjualan LPG non-subsidi mencapai angka " super jumbo" hingga Rp1,5 triliun. Angka tersebut diklaim mencapai sepuluh kali lipat dibandingkan dengan keuntungan dari penjualan LPG subsidi.
Energi
JAKARTA - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) tengah menyelidiki dugaan monopoli dalam penjualan LPG non-subsidi oleh PT Pertamina Patra Niaga (PPN). Penyelidikan awal telah dimulai pada tanggal 5 Maret 2025 setelah KPPU mencium adanya indikasi praktik monopoli yang dilakukan oleh anak usaha Pertamina tersebut di pasar midstream.
KPPU mencurigai adanya pelanggaran terhadap Pasal 17 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
"KPPU menduga terdapat pelaku usaha yang melakukan praktik monopoli penjualan LPG Non Subsidi di pasar midstream, LPG bulk non PSO untuk dikemas ulang dengan menjual harga yang tinggi dan menikmati keuntungan yang tinggi. Harga LPG Non Subsidi yang tinggi itu mengakibatkan banyak konsumen yang akhirnya beralih menggunakan LPG Subsidi kemasan 3 kg," ujar Deputi Bidang Kajian dan Advokasi KPPU, Taufik Ariyanto, dalam keterangannya du Jakarta, Senin, 10 Maret 2024.
Dugaan ini didasarkan pada pengamatan yang dilakukan lebih dari satu tahun, di mana ditemukan pelaku usaha yang menikmati keuntungan besar dengan menjual LPG non-subsidi dengan harga yang relatif tinggi.
Dalam keterangan yang dirilis KPPU, disebutkan bahwa keuntungan dari penjualan LPG non-subsidi mencapai angka " super jumbo" hingga Rp1,5 triliun.
- Layanan Bongkar Muat Kapal Memburuk, Industri Pelayaran di daerah Terpuruk
- Kurang Literasi, Masyarakat Lebih Senang Beli Aset Berisiko Ketimbang Produk Asuransi
- ADHI dan PTPP Hadapi Tantangan Kontrak Baru 2025 di Tengah Penghematan Anggaran
”Dalam (laporan) penjualan 2024, KPPU menemukan adanya keuntungan yang tinggi atau super normal profit penjualan LPG Non Subsidi sebesar 10 kali lipat dibandingkan laba penjualan LPG Subsidi, atau sekitar Rp 1,5 triliun,” tambah Taufik.
Angka tersebut diklaim mencapai sepuluh kali lipat dibandingkan dengan keuntungan dari penjualan LPG subsidi. Hal ini memunculkan kekhawatiran bahwa harga LPG non-subsidi yang tinggi dapat menghambat persaingan usaha yang sehat.
Selain itu, dominasi PT PPN dalam pasokan LPG domestik dan impor juga menjadi sorotan. Dengan menguasai lebih dari 80% pasokan LPG, baik dari sumber dalam negeri maupun impor.
PT PPN memiliki kendali besar terhadap harga dan distribusi LPG non-subsidi. Selain menjual BrightGas, PPN juga memasok gas dalam bentuk bulk ke merek lain seperti BlueGas dan PrimeGas.
- Layanan Bongkar Muat Kapal Memburuk, Industri Pelayaran di daerah Terpuruk
- Kurang Literasi, Masyarakat Lebih Senang Beli Aset Berisiko Ketimbang Produk Asuransi
- ADHI dan PTPP Hadapi Tantangan Kontrak Baru 2025 di Tengah Penghematan Anggaran
Dampak Harga Tinggi terhadap Konsumen
KPPU menilai harga LPG non-subsidi yang tinggi turut memengaruhi pola konsumsi masyarakat. Akibat mahalnya LPG non-subsidi, banyak konsumen yang akhirnya beralih ke LPG subsidi 3 kg yang lebih terjangkau. Hal ini berpotensi meningkatkan beban subsidi pemerintah, yang seharusnya hanya ditujukan bagi masyarakat kurang mampu.
Beberapa analis juga menilai bahwa dominasi PT PPN dalam sektor LPG non-subsidi dapat menyebabkan minimnya persaingan, sehingga tidak ada insentif bagi pelaku usaha lain untuk menawarkan harga yang lebih kompetitif. Akibatnya, masyarakat memiliki pilihan yang terbatas dalam membeli LPG non-subsidi.
Menanggapi penyelidikan yang dilakukan oleh KPPU, Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga, Happy Wulansari, membantah adanya praktik monopoli dalam bisnis LPG non-subsidi. Menurutnya, selain PPN, masih ada badan usaha lain yang turut berpartisipasi dalam pemasaran LPG non-subsidi di Indonesia.
KPPU menegaskan penyelidikan saat ini masih berada dalam tahap awal, pihaknya akan terus mengumpulkan bukti serta mendalami dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh PPN. Jika terbukti melanggar aturan persaingan usaha, perusahaan dapat dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Penyelidikan tersebut menjadi salah satu topik sensitif bagi publik, mengingat LPG merupakan kebutuhan vital bagi masyarakat dan industri.