Susilo Bambang Yudhoyono (istimewa)
Perbankan

Kredit Era SBY Bisa Tumbuh 20 Persen, Ini Alasan Terjadinya Perlambatan di Zaman Jokowi

  • Pertumbuhan kredit di atas 20% sebelum tahun 2013 didorong oleh berbagai faktor, termasuk pelonggaran kuantitatif (quantitative easing) oleh The Federal Reserve (The Fed) dan lonjakan harga komoditas.

Perbankan

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA - Pertumbuhan kredit perbankan Indonesia dalam satu dekade terakhir cenderung berada pada kisaran 7-12% pada masa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan masa sebelum tahun 2013, di mana pertumbuhan kredit bahkan mampu menembus angka 20% pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Apa penyebab utama penurunan ini, dan bagaimana prospek pertumbuhan kredit di masa depan? 

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Dian Ediana Rae, memberikan penjelasan mendalam mengenai fenomena ini.

Faktor Utama Penurunan Pertumbuhan Kredit

Dian Ediana Rae menjelaskan, pertumbuhan kredit di atas 20% sebelum tahun 2013 didorong oleh berbagai faktor, termasuk pelonggaran kuantitatif (quantitative easing) oleh The Federal Reserve (The Fed) dan lonjakan harga komoditas. 

"Pemangkasan Fed Fund Rate (FFR) antara 2009 hingga 2015 menjadi hanya sebesar 0-0,25% memicu arus modal masuk (capital inflow) besar-besaran ke pasar negara berkembang, termasuk Indonesia," ujar Dian melalui jawaban tertulis, dikutip Selasa, 19 November 2024.

Arus modal masuk tersebut, lanjut Dian, turut mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga lebih dari 6% pada 2010. Kombinasi pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan peningkatan modal asing ini mendorong peningkatan simpanan perbankan dan permintaan kredit, sehingga pertumbuhan kredit mampu mencapai 20%.

Namun, kondisi saat ini berbeda. Sebagian besar bank sentral dunia masih mempertahankan suku bunga tinggi akibat ketidakpastian global yang dipicu oleh tensi geopolitik, pemilu Amerika Serikat, dan perlambatan ekonomi. 

"Investor lebih memilih instrumen yang aman seperti US treasury dan emas, sehingga likuiditas global masih terbatas," tambah Dian.

Baca Juga: Produk Impor Ilegal Jadi Penyebab Tingginya Risiko Kredit UMKM

Tantangan dan Transformasi Ekonomi

Menurut Dian, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mendorong kembali pertumbuhan kredit seperti yang terjadi sebelumnya. 

Salah satunya adalah regulasi yang semakin mengarah pada pembiayaan berkelanjutan (sustainable finance). Selain itu, lambatnya pertumbuhan wirausaha baru dan sulitnya pengusaha kecil naik kelas menjadi pengusaha besar turut memengaruhi rendahnya permintaan kredit.

"Peralihan ke energi terbarukan juga berdampak pada permintaan terhadap komoditas utama Indonesia," jelasnya. 

Oleh karena itu, Dian menekankan pentingnya perubahan ekonomi struktural untuk memperkuat ekonomi domestik dan mendorong permintaan kredit.

Di sisi lain, ekspektasi penurunan suku bunga global hingga tahun depan diharapkan dapat meningkatkan ketersediaan likuiditas di pasar. "Ini akan menjadi dorongan positif bagi pertumbuhan permintaan kredit," kata Dian.

Pengawasan dan Risiko Kredit

Terkait pertumbuhan kredit yang tinggi pada beberapa bank di tengah kondisi moderat industri, OJK terus memantau kinerja kredit yang disalurkan. Sebagai langkah mitigasi risiko, perbankan telah membentuk Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) sesuai dengan implementasi PSAK 71.

"Risiko kredit saat ini masih terkendali, dengan rasio NPL sebesar 2,21% dan LaR sebesar 10,11% per September 2024, keduanya menunjukkan tren menurun," ujar Dian. 

Selain itu, permodalan perbankan yang kuat dengan Capital Adequacy Ratio (CAR) mencapai 26,85% juga menjadi bantalan penting dalam mengantisipasi risiko.

Dian menegaskan, OJK terus memastikan bahwa pertumbuhan kredit dilakukan secara hati-hati dan tidak berpotensi menimbulkan kredit bermasalah di masa depan. Langkah pengawasan yang ketat diharapkan dapat mendukung pertumbuhan kredit yang sehat dan berkelanjutan.