Ilustrasi bank digital di Indonesia. Infografis: Deva Satria/TrenAsia
Perbankan

Kredit Macet Ikut Naik Tatkala Profitabilitas Bank Digital Tengah Ngebut

  • PT Bank Amar Indonesia Tbk (AMAR) mencatat kenaikan NPL yang paling jumbo, yakni mencapai 378 basis poin dari 6,48% pada kuartal I-2023 menjadi 10,26% pada kuartal-I tahun ini.

Perbankan

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA – Seiring dengan profitabilitas yang melonjak, emiten-emiten bank digital turut mencatat kenaikan rasio kredit macet pada kuartal pertama 2024. 

Misalnya, PT Bank Raya Tbk (AGRO) mencatat kenaikan 18 basis poin pada Nonperforming Loan (NPL) Gross dari 4,1% yang tercatat pada kuartal I-2023 menjadi 4,28% pada kuartal I-2024. 

Padahal, pada tiga bulan pertama tahun ini, penyaluran kredit Bank Raya mengalami penurunan 26% secara year-on-year (yoy) dari Rp6,86 triliun menjadi Rp5,06 triliun. 

Laba bersih Bank Raya pun melonjak pada kuartal-I 2024, yakni sebesar 109,5% ke angka Rp9,16 miliar, jauh lebih kencang dibanding pertumbuhan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI/BBRI) yang membukukan pertumbuhan laba bersih 1,13% yoy. 

Selanjutnya, PT Bank Neo Commerce Tbk (BNC/BBYB), yang berhasil membalikkan kerugian Rp68,4 miliar menjadi laba bersih Rp14,23 miliar, mencatatkan kenaikan kredit macet sebesar 41 basis poin secara tahunan dari 3,53% menjadi 3,94%. Penyaluran kredit BNC pada kuartal I-2024 mencapai Rp9,39 triliun, turun 8% yoy dari Rp10,24 triliun. 

PT Bank Jago Tbk (ARTO) mencatat pertumbuhan kredit macet yang lebih besar lagi, tepatnya sebesar 90 basis poin dari 0,61% menjadi 1,51% sementara penyaluran kreditnya naik 30% yoy dari Rp10,84 triliun ke Rp14,12 triliun dan laba bersihnya tumbuh 24% yoy ke angka Rp17,5 miliar. 

Di antara emiten perbankan digital dengan pertumbuhan laba yang pesat, PT Bank Amar Indonesia Tbk (AMAR) mencatat kenaikan NPL yang paling jumbo, yakni mencapai 378 basis poin dari 6,48% pada kuartal I-2023 menjadi 10,26% pada kuartal-I tahun ini. 

Padahal, Bank Amar berhasil mencatat kenaikan laba bersih hingga 41,9% yoy ke angka Rp48,86 miliar pada triwulan pertama tahun ini. Sementara penyaluran kreditnya tumbuh 14% ke angka Rp2,74 triliun. 

Lain halnya dengan PT Allo Bank Indonesia Tbk (BBHI) yang berhasil menurunkan NPL-nya sebesar 19 basis poin dari 0,24% menjadi 0,05%. NPL BBHI membaik sementara laba bersihnya meroket 38,4% yoy ke Rp75,43 miliar dan kreditnya juga melesat 52% yoy. 

Sebagai catatan, PT Bank Aladin Syariah Tbk (BANK) tidak dimasukkan ke dalam daftar karena bank ini masih mencatat kerugian dan belum menunjukkan profitabilitas dengan pertumbuhan yang signifikan seperti bank-bank digital lainnya yang disebutkan di atas. 

Baca Juga: Profitabilitas Bank Digital Lebih Kencang Dibanding Konvensional, Ini Penyebabnya

Akibat Kemitraan dengan Fintech Lending?

Beberapa waktu lalu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan beberapa risiko yang terkait dengan kemitraan antara bank digital dan fintech lending melalui skema channeling.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menyatakan bahwa risiko dari skema tersebut berasal dari faktor internal dan eksternal. 

Dalam pernyataan tertulisnya, Dian menjelaskan bahwa dari sisi internal, bank perlu terus meningkatkan kapabilitas credit scoring yang dimiliki.

Sedangkan dari sisi eksternal, Dian menyoroti dampak dari ekonomi global yang masih bergejolak dan fenomena suku bunga tinggi yang bertahan lama (higher for longer). 

Kondisi ini berimplikasi signifikan pada penurunan nilai aset keuangan dan meningkatkan ketidakpastian ekonomi, yang pada akhirnya dapat menurunkan nilai aset keuangan.

 “Kondisi ini menuntut perbankan yang bermitra dengan perusahaan fintech untuk mempertimbangkan kebijakan manajemen risiko yang lebih ketat dan inovasi dalam teknologi untuk tingkatkan keamanan dan efisiensi,” ujar Dian melalui jawaban tertulis beberapa waktu lalu. 

Dalam menghadapi risiko dalam skema channeling bersama fintech lending, bank perlu memiliki pemahaman yang mendalam tentang proses bisnis mitra mereka, memilih mitra yang tepat, mematuhi regulasi yang berlaku, serta menerapkan skema mitigasi risiko yang memadai.

Dari sisi regulator, OJK telah mengambil beberapa langkah untuk mengantisipasi potensi peningkatan risiko dari kemitraan perbankan dengan fintech lending. Salah satu langkah yang dilakukan adalah menerapkan regulasi yang fleksibel agar sesuai dengan perkembangan teknologi. 

Selain itu, penggunaan regulatory sandbox dan innovation office di sektor fintech juga penting untuk memantau dan menguji inovasi dengan aman. OJK juga mendorong pengembangan keterampilan dan kapabilitas baru dalam manajemen risiko dan pengawasan.

Dian menambahkan bahwa penyesuaian regulasi perlindungan konsumen dan koordinasi antara regulator nasional dan internasional juga sangat penting. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa fintech lending beroperasi dalam kerangka yang aman dan adil bagi semua pihak yang terlibat.

Kendati demikian, dalam konteks rasio kredit bermasalah  NPL pada sejumlah bank digital sepanjang tahun lalu, Dian mengungkapkan bahwa NPL perbankan secara industri masih cukup aman dan menunjukkan perbaikan yang solid setelah pandemi COVID-19. 

Pemulihan ekonomi digital juga turut mendukung perbaikan ini. Bank-bank digital pun dinilai masih dalam batas wajar dan cenderung menunjukkan perbaikan.