Logo LPEI atau Indonesia Eximbank
Korporasi

Kredit Macet Masih Menumpuk, Laba Bersih LPEI Naik 100 Persen Awal Tahun ini

  • Dari catatan laporan keuangan kuartal I-2024, LPEI mampu meraih laba periode berjalan sebesar Rp70,41 miliar

Korporasi

Ananda Astri Dianka

JAKARTA - Setelah menutup tahun 2023 dengan kerugian hingga Rp18,11 triliun, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) berhasil menata kembali kinerja bisnisnya di awal tahun 2024 ini.

Dari catatan laporan keuangan kuartal I-2024, LPEI mampu meraih laba periode berjalan sebesar Rp70,41 miliar. Pencapaian itu naik 100,2% dibandingkan periode sama tahun sebelumnya sebesar Rp35,16 miliar.  

Pada periode tiga bulan pertama 2024, LPEI tercatat memberikan pembiayaan dan piutang sebesar Rp71,45 triliun, menurun dibandingkan tahun sebelumnya sebesar Rp73,82 triliun. Pembiayaan yang diberikan kepada para eksportir ini mencakup pembiayaan dan piutang syariah.

Dari pembiayaan dan piutang syariah itu, LPEI saat ini menghadapi pembiayaan dan piutang bermasalah alias macet dalam jumlah sangat besar. Laporan keuangan LPEI kuartal I-2024 mencatat nilai pencadangan atas pembiayaan dan piutang syariah mencapai Rp 32,86 triliun.

Sehingga, rasio aset produktif yang diklasifikasikan non performing terhadap total aset produktif pada tanggal 31 Maret 2024 mencapai 27,17%.

Sebagai lembaga keuangan milik pemerintah, LPEI atau Eximbank didirikan pada tahun 2009 di masa pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Lembaga ini memiliki lini bisnis dalam bentuk pembiayaan, penjaminan, asuransi, dan jasa konsultasi. Namun, sumber utama pendapatan perusahaan berasal dari pembiayaan dan piutang.

Dengan pembiayaan dan piutang yang diberikan, pada kuartal I-2024 LPEI mencatat pendapatan bunga dan usaha syariah sebesar Rp915,15 miliar, turun dibandingkan periode sama 2023 sebesar Rp1,05 triliun.

Sementara dari bisnis asuransi, LPEI mengantongi pendapatan bersih Rp1,86 miliar dan bisnis penjaminan berkontribusi sebesar Rp16,69 miliar. Pada tahun sebelumnya, dari dua pos tersebut LPEI masing-masing mengantongi pendapatan sebesar Rp2,93 miliar dan Rp23,77 miliar. Artinya, bisnis asuransi dan penjaminan LPEI juga mengalami penurunan.

Dalam catatan laporan keuangannya, LPEI menyampaikan bahwa per 31 Maret 2024 jumlah pembiayaan dan piutang yang mengalami penurunan nilai mencapai Rp40,09 triliun. Jumlah itu terdiri dari pembiayaan dan piutang rupiah Rp24,75 triliun dan Rp25,14 triliun dalam Dolar Amerika Serikat.

Atas pembiayaan dan piutang bermasalah itu, LPEI telah membentuk cadangan kerugian penurunan nilai atas pembiayaan dan piutang pada 31 Maret sebesar Rp28.12 triliun.

Sejumlah BUMN pemerintah tercatat menjadi debitur LPEI. BUMN dengan pembiayaan dan piutang terbesar diantaranya adalah PT Perkebunan Nusantara VII (Persero) dengan pembiayaan senilai Rp1,45 triliun, Pengembangan Pariwisata Indonesia Rp1,30 triliun, PT Perkebunan Nusantara IV (Persero) Rp1,08 triliun, PT Krakatau Steel (Persero) Tbk Rp973,18 miliar dan  PT Wijaya Karya (Persero) Tbk sebesar Rp734,00 miliar.

PMN Pemerintah

Berbeda dengan perbankan, dalam membiayai nasabahnya LPEI mengandalkan sumber pembiayaan dari pinjaman dan penerbitan surat utang atau obligasi. Per Maret 2024, berdasarkan catatan 43 laporan keuangan LPEI kuartal I-2024, obligasi yang diterbitkan perusahaan mencapai Rp21,2 triliun. Adapun pinjaman yang diterima sebesar Rp26,21 triliun.

Lembaga ini juga mendapatkan suntikan dana pemerintah melalui Penanaman Modal Nasional (PMN). Diantaranya pada tahun 2018 nilai PMN yang diterima oleh LPEI mencapai Rp2,5 triliun.

Sebelumnya pada periode 2015 dan 2016 LPEI juga sudah memperoleh PMN dari pemerintah masing-masing sebesar Rp1 triliun dan Rp4 triliun.  

Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi XI DPR RI di Jakarta, Senin (1/7), Direktur Eksekutif LPEI Riyani Tirtoso mengusulkan tambahan PMN sebesar Rp10 triliun pada tahun ini.

Dana itu, kata Riyani akan digunakan untuk pengembangan kapasitas program Penugasan Khusus Ekspor (PKE) dan membuat program baru yang dibutuhkan para eksportir.

“Jadi PMN yang diajukan sebesar Rp10 triliun adalah untuk menambah kapasitas lima program existing, yaitu trade finance kawasan non tradisional, UKM, alat transportasi, industri farmasi, dan alat kesehatan dan kami juga menyediakan empat program baru yaitu industri pangan, offshore financing, penjaminan, dan asuransi,” ujar Riyani Tirtoso dalam pertemuan itu.