Ilustrasi gedung perkantoran.
Perbankan

Kredit Macet Sektor Properti Bengkak, Segmen Ruko dan Perkantoran Paling Banyak

  • Data yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia (BI) menunjukkan bahwa NPL properti pada bulan Januari 2024 mencapai tingkat 2,63%.

Perbankan

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA - Tren kenaikan rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) di sektor properti pada awal tahun 2024 menjadi sorotan utama, seiring dengan peningkatan yang serupa dalam NPL perbankan secara keseluruhan pada periode yang sama.

Data yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia (BI) menunjukkan bahwa NPL properti pada bulan Januari 2024 mencapai tingkat 2,63%. 

Angka ini menunjukkan kenaikan dari bulan sebelumnya yang berada di level 2,47%, bahkan melebihi angka pada periode Januari 2023 yang berada di level 2,46%.

Lebih jauh, NPL untuk kredit properti dalam bentuk ruko dan perkantoran mencatatkan angka tertinggi sekitar 4,21%. Sementara itu, kredit untuk rumah susun atau apartemen juga mengalami kenaikan dengan level NPL mencapai 2,78%.

Kenaikan ini sejalan dengan catatan yang disampaikan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang juga mencatat peningkatan NPL perbankan secara keseluruhan. Pada bulan Januari 2024, NPL net perbankan berada di level 0,79%, naik dari bulan sebelumnya yang berada di level 0,71%.

Menurut data OJK, NPL properti berada di level 2,4% per-Desember 2023, lebih tinggi dari setahun sebelumnya sebesar 2,1%.

Secara umum, tingkat NPL yang dialami oleh perbankan masih berada di bawah batas maksimal yaitu sebesar 5% sesuai dengan ketentuan Peraturan Bank Indonesia No. 6/10/PBI/2004 mengenai Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum.

OJK menilai bahwa kenaikan NPL di sektor properti ini masih terbilang aman, dan kenaikan kredit macet ini lebih karena dipengaruhi oleh tingkat suku bunga acuan.

Sebagaimana diketahui, seperti halnya bank sentral Amerika Serikat (AS) alias The Federal Reserve (The Fed), BI secara berkala mengerek suku bunga seiring dengan tekanan inflasi yang menghantui pascapandemi. 

Pada Februari 2021, suku bunga BI-7 Days Reverse Repo Rate (BI7DRRR) berada di level 3,5%, dan angkanya terus stabil sampai akhirnya pada bulan Agustus 2022, BI memutuskan untuk menaikkan suku bunga ke angka 3,75%. 

Kemudian, suku bunga BI naik lagi ke posisi 4,25% pada bulan September dan naik terus secara bertahap hingga ke level 5,5% pada akhir 2022 sebelum dinaikkan ke angka 5,75% pada Januari 2023. 

Nyaris sepanjang tahun 2023, suku bunga BI dipertahankan di level tersebut. Namun, pada Oktober 2023, suku bunga BI dikerek naik ke posisi 6% dan bertahan hingga Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang diselenggarakan pada akhir Februari 2024. 

Sebelumnya, Investment Analyst Stockbit Reynaldo Mulya memprediksi suku bunga BI dapat dipangkas lebih cepat pada tahun 2024 karena inflasi yang melandai melampaui ekspektasi. 

Reynaldo mengatakan, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa Indeks Harga Konsumen (IHK) di Indonesia pada Desember 2023 melandai ke level 2,61% secara year-on-year (yoy), lebih rendah dari ekspektasi konsensus sebesar 2,72% yoy. 

Reynaldo menyebutkan bahwa tingkat inflasi yang berada di bawah ekspektasi memberikan ruang bagi BI untuk mempertimbangkan pemangkasan suku bunga lebih cepat dari perkiraan.

Saat ini, konsensus memperkirakan Bank Indonesia akan mulai memangkas suku bunga pada kuartal III-2024,” ujar Reynaldo dikutip dari risetnya, Senin, 18 Maret 2024.

Reynaldo mengatakan, pemangkasan suku bunga dapat memberikan dampak positif pada sektor perbankan. Cost of fund yang lebih rendah dapat meningkatkan Net Interest Margin (NIM) sehingga berpotensi memberikan keuntungan lebih besar bagi bank-bank di Indonesia. 

Keuntungan ini dapat menciptakan lingkungan yang lebih kondusif untuk pertumbuhan sektor perbankan secara keseluruhan.

Sektor properti juga berpotensi merasakan dampak positif dari pemangkasan suku bunga. Penurunan suku bunga dapat mengakibatkan bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR) menjadi lebih rendah, yang pada gilirannya dapat meningkatkan permintaan properti. 

Selain itu, studi yang dilakukan menemukan bahwa harga saham perusahaan properti cenderung naik ketika suku bunga mencapai puncaknya dan mulai dipangkas.

Sementara itu, PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BTN/BBTN) selaku bank spesialis KPR pada awal tahun 2024 telah menerapkan salah satu strategi untuk menekan kredit macet.

BTN telah bermitra dengan PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) untuk menangani NPL yang dicatat Perseroan. Kolaborasi ini berhasil memotong NPL sebesar hampir Rp900 miliar, menurut pernyataan Direktur Utama Bank BTN, Nixon LP Napitupulu.

Nixon menyatakan bahwa penyelesaian aset berkualitas rendah tersebut telah berhasil dilakukan pada akhir tahun sebelumnya oleh Perseroan dan pihak-pihak terkait. Hasilnya, penanganan ini berhasil secara signifikan mengurangi rasio NPL.

“Penyelesaian ini diharapkan dapat mendukung peningkatan kualitas aset Bank BTN yang berdampak pada peningkatan kinerja Perseroan. Melalui penyelesaian ini, kami optimisis dapat memperbaiki rasio NPL yang diharapkan dapat turut mendorong pertumbuhan bisnis Perseroan,” ujar Nixon melalui keterangan tertulisnya, dikutip Senin, 18 Maret 2024. 

Nixon menekankan bahwa penanganan NPL ini adalah bukti nyata dari sinergi BUMN dan juga komitmen Bank BTN untuk terus meningkatkan kualitas aset, sehingga fokus perusahaan dapat tetap pada penyediaan solusi kepemilikan rumah bagi masyarakat.

Untuk diketahui, pada tahun 2023, KPR BTN berkontribusi 86,96% terhadap total kredit yang disalurkan BTN dengan nilai sebesar Rp257,92 triliun. 

Pada akhir tahun tersebut, NPL BTN berada di level 3,01% atau turun dari 3,53% yang tercatat pada kuartal III-2023 dan dari 4,8% yang tercatat pada akhir 2022. Nixon pun optimis level NPL Perseroan bisa turun ke bawah 3% pada tahun 2024.