<p>Karyawan membersihkan logo Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) di Jakarta, Jum&#8217;at, 10 Juli 2020.  Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) diberikan kewenangan tambahan berupa penyelamatan bank sakit dan penempatan dana pada bank yang kesulitan likuiditas selama pandemi Covid-19. Penempatan dana oleh LPS tersebut bertujuan untuk mengelola dan/atau meningkatkan likuiditas LPS, serta mengantisipasi dan/atau melakukan penanganan stabilitas permasalahan sistem keuangan yang dapat menyebabkan kegagalan bank. Kewenangan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah No.33/2020 yang mengatur mengenai Pelaksanaan Kewenangan LPS. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Industri

Kriteria Bank Gagal yang Bakal Disuntik LPS

  • Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah mengatakan total likuiditas yang dimiliki mencapai Rp128 triliun, cukup menjadi bantalan dalam menangani bank bermasalah karena terdampak pandemi COVID-19.

Industri
Sukirno

Sukirno

Author

JAKARTA – Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memaparkan sejumlah kriteria bank berisiko gagal untuk mendapatkan suntikan dana sekaligus syarat agunan yang disiapkan bank bermasalah tersebut.

Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah mengatakan total likuiditas yang dimiliki mencapai Rp128 triliun, cukup menjadi bantalan dalam menangani bank bermasalah karena terdampak pandemi COVID-19.

“Ketika bank sudah masuk dalam kriteria pengawasan intensif, saat itu juga LPS sudah bisa melakukan pemeriksaan bersama OJK (Otoritas Jasa Keuangan),” kata dia dilansir Antara, Jumat, 10 Juli 2020.

Menurut dia, pengawasan intensif terhadap bank itu dilakukan oleh OJK selaku lembaga berwenang. Dia menjelaskan kriteria itu di antaranya terkait kondisi rasio likuiditas, permodalan, profitabilitas atau kemampuan bank tersebut meraup untung.

Meski demikian, kriteria tersebut akan didiskusikan lebih lanjut bersama OJK, termasuk jika bank itu juga masuk dalam pengawasan khusus.

Terkait berapa jumlah bank yang masuk dalam kategori bank dalam pengawasan intensif (BDPI) atau bank dalam pengawasan khusus (BDPK), Halim menegaskan kewenangan itu berada di ranah OJK.

Seperti layaknya pemberian kredit, sambungnya, bank bermasalah juga harus menyertakan agunan kepada LPS ketika mengajukan penempatan dana. Agunan itu bisa berupa aset kredit yang lancar dan profil risiko kredit yang harus diteliti, lalu aset tetap.

Menurut dia, jika belum mencukupi, pemilik bank harus menyerahkan pengalihan saham kepada LPS yang tentunya semua agunan itu akan diteliti kembali.

LPS tidak serta merta langsung menyetujui penempatan dana kepada bank bermasalah. Namun, LPS harus berkoordinasi dengan OJK menyangkut analisis dan informasi, termasuk dari Bank Indonesia.

“Sampai saat ini belum ada bank yang minta penempatan dana LPS,” tegasnya.

Wewenang LPS

LPS mendapatkan kewenangan baru dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 33 Tahun 2020 tentang pelaksanaan kewenangan LPS dalam rangka melaksanakan langkah penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan.

Dalam aturan itu, LPS dapat melakukan penempatan dana kepada seluruh bank yang berisiko gagal mencapai 30% dari jumlah kekayaan LPS. Penempatan dana pada satu bank paling banyak mencapai 2,5% dari jumlah kekayaan LPS.

Menurut Halim, penempatan dana bertujuan untuk menolong bank dari risiko gagal, bukan untuk menyelamatkan orang-orang yang ada di dalam bank bermasalah tersebut.

“LPS tidak menyelamatkan pribadi-pribadi yang ada di dalam bank itu,” ungkapnya.

Periode penempatan dana paling lama satu bulan dan dapat diperpanjang paling banyak lima kali. Jika setelah mendapatkan kucuran dana LPS tidak ada perbaikan, maka agunan dapat dieksekusi setelah mendapatkan restu OJK. (SKO)