Aktifitas para pekerja sebuah pabrik furniture di kawasan Batu Ceper Kota Tangerang. Foto : Panji Asmoro/TrenAsia
Nasional

Kritik Terhadap RUU KIA, Dampak Potensial Bagi Dunia Usaha

  • Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah memutuskan Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan (RUU KIA) menjadi Undang-Undang (UU) KIA. Aturan ini memberikan hak cuti melahirkan bagi ibu pekerja dan suaminya selama masa persalinan.
Nasional
Distika Safara Setianda

Distika Safara Setianda

Author

JAKARTA – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah memutuskan Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan (RUU KIA) menjadi Undang-Undang (UU) KIA. Aturan ini memberikan hak cuti melahirkan bagi ibu pekerja dan suaminya selama masa persalinan.

Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Diah Pitaloka menjelaskan, UU ini memungkinkan ibu pekerja yang telah melahirkan untuk mendapatkan cuti melahirkan minimal tiga bulan. Namun, dalam kondisi tertentu, ibu pekerja dapat mengambil cuti hingga enam bulan.

Meski begitu, ibu pekerja juga mendapat upah selama cuti. Pasal 5 ayat (2) menyebutkan, ibu pekerja yang melaksanakan hak-haknya termasuk cuti berhak mendapatkan upah secara penuh untuk tiga bulan pertama dan keempat. Adapun selama bulan kelima dan keenam, dia berhak mendapatkan upah sebesar 75%.

Hal ini sehausnya membawa angin segar, tapi nyatanya niat baik saja tidak cukup. Terlebih, jika niat tersebut belum mengakomodasi masukan dari masyarakat sipil yang mewakili suara perempuan, terutama para ibu. Ini terbukti munculnya pro dan kontra usai RUU KIA disetujui untuk disahkan.

Gelombang kritik datang dari aktivis dan pengamat hak perempuan yang menilai bahwa aturan ini berpotensi menimbulkan berbagai masalah baru.

Menanggapi hal tersebut, Ketua Umum Kadin DKI Jakarta, Diana Dewi mengatakan, wacana memberikan cuti hingga 6 bulan bagi wanita yang baru melahirkan tentu akan sangat memberatkan pengusaha yang mempekerjakan kaum perempuan. Pasalnya, beban kerja dari karyawan yang cuti tidak mungkin ditanggung oleh karyawan lain selama 6 bulan.

“Apakah mereka yang cuti selama itu tidak akan menerima gaji? Sedangkan, dalam aturan lama, cuti melahirkan selama 3 bulan sudah dirasa memberatkan pengusaha, apalagi jika diperpanjang menjadi 6 bulan,” ujar saat dihubungi TrenAsia beberapa waktu lalu.

Perlu dipahami, melahirkan adalah hak istimewa yang diberikan kepada perempuan oleh Allah SWT. Namun, hak ini tidak mengurangi kewajiban mereka sebagai karyawan/pekerja. Justru, perempuan perlu mencari solusi agar proses pra dan pasca melahirkan dapat berlangsung cepat dan lancar, sehingga tanggung jawab mereka sebagai pekerja tidak terabaikan.

Harus ada kejelasan mengenai kondisi-kondisi di mana seorang karyawan dapat diberi perpanjangan cuti hingga 6 bulan. “Kalau seandainya setelah 6 bulan, orang tersebut lebih memilih berhenti bekerja bagaimana? Tentu perusahaan yang akan kerepotan karena harus meng-hire orang baru lagi,” paparnya.

“Kami tentu sangat menghargai upaya pemerintah dalam mensejahterakan ibu dan anak. Ini bagian penting dalam mencetak generasi bangsa yang unggul. Namun, hal tersebut tidak lantas diberi special excuse terkait pekerjaan yang dijalaninya. Sebab, dunia kerja/bisnis menuntut seseorang untuk professional,” jelas dia.

“Di sisi lain, kalau kita lihat keterlibatan kaum perempuan semakin besar dalam dunia kerja. Hal ini juga karena peluang-peluang terbuka lebar. Ini merupakan bagian dari implementasi kesetaraan gender,” kata Ketua Umum Kadin DKI Jakarta itu.

“Jangan justru aturan tersebut melemahkan kaum perempuan sekaligus mencitrakan perempuan itu kaum yang lemah. Padahal, sejatinya kaum perempuan memiliki kekuatan dan potensi yang demikian besar,” imbuhnya.

“Bagi kami pengusaha, aturan seperti itu tidak tepat dan cenderung mendegradasi ‘kekuatan’ dan kemampuan kaum perempuan. Harus ada solusi dan kemauan konkrit dari kaum perempuan sendiri dalam menciptakan keseimbangan dalam hidupnya.”

“Baiknya, persoalan seperti diserahkan kepada masing-masing perusahaan saja. Mekanismenya bisa dibahas secara internal dan disesuaikan dengan kebutuhan dan para pihak yang sama-sama punya kepentingan, tanpa harus dimasukan dalam peraturan perundangan-undangan. Karena bila diundangkan, maka berpotensi jadi masalah nasional,” tandasnya.

Apindo mendukung upaya pemerintah dalam menjamin kesejahteraan ibu dan anak, terutama pada 1.000 hari pertama kehidupan. Hal ini juga sesuai dengan program Apindo dalam berpatisipasi dalam menurunkan prevalensi stunting.

Sementara itu ketentuan yang sama diatur dalam UU No.13/2003, di antaranya:

“Pasal 82 mengamanatkan bahwa Pekerja/ Buruh Perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan.”

“Pasal 93 ayat (4) huruf e, menyatakan suami yang mendampingi istri yang melahirkan atau keguguran kandungan mendapatkan cuti selama 2 hari.”

Di samping itu, Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Shinta Widjaja Kamdani mengungkapkan, hingga saat ini, Indonesia masih menghadapi tantangan produktivitas yang rendah. Menurut Human Capital Index tahun 2022, Indonesia berada di peringkat 96 dari 174 negara secara global. Selain itu, tingkat competitiveness index Indonesia juga masih rendah.

“Begitu juga, kita menghadapi masalah Tingkat Partispasi Angkatan Kerja (TPAK) yang rendah. Menurut data BPS tahun 2023, tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan mencapai 60,18%, jauh lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki yang mencapai 86,97%,” ucapnya dalam keterangan.

Ketentuan baru yang diatur dalam UU KIA FHKP berpotensi menambah beban baru bagi dunia usaha.

Oleh karena itu, diperlukan dialog sosial yang efektif antara pekerja dan pengusaha, serta kebijakan mengenai cuti hamil/melahirkan yang telah disepakati dalam peraturan perusahaan masing-masing agar tetap menjadi acuan bersama selama belum diubah.

Langkah ini diperlukan agar ketentuan baru tersebut dapat mencapai tujuan perlindungan pekerja perempuan dan keberlangsungan dunia usaha.

Dibutuhkan juga peran pemerintah dalam menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan, dengan meningkatkan ketersediaan dan kualitas layanan kesehatan primer melalui Puskesmas, serta meningkatkan dukungan pemerintah terhadap Pelayanan Poliklinik Swasta. Hal ini juga memerlukan fasilitas pelayanan lanjutan di Rumah Sakit Pemerintah dan Swasta.