KTT ASEAN: Meneropong Peran Singapura dalam Menyelesaikan Krisis Myanmar
- Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong akan memimpin delegasi Singapura dalam KTT ke-43 ASEAN mulai Selasa-Kamis, 5-7 September 2023 di Jakarta.
Dunia
JAKARTA - Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong akan memimpin delegasi Singapura dalam KTT ke-43 ASEAN mulai Selasa-Kamis, 5-7 September 2023 di Jakarta. Para pemimpin blok tersebut akan membahas krisis di Myanmar bersama dengan isu-isu lainnya.
Pertemuan ini berlangsung di tengah ketegangan yang meningkat di Laut Cina Selatan. Hal itu setelah China merilis peta baru yang mengklaim sebagian besar wilayah yang menjadi sengketa oleh beberapa anggota ASEAN, yang memicu protes negara-negara tersebut.
Kantor Perdana Menteri Singapura (PMO) menyatakan dalam sebuah pernyataan pada Senin 4 September 2023 bahwa para pemimpin ASEAN akan membahas cara-cara untuk memastikan keberlanjutan relevansi dan kepentingan utama blok tersebut dalam arsitektur regional yang terus berubah.
- Akuisisi, Strategi Perusahaan untuk Ekspansi Pasar
- 360Kredi Optimistis Bisa Penuhi Modal Minimum Rp7,5 Miliar pada 2024
- Perusahaan Malaysia Bakal Bangun 20 Tower Apartemen di IKN
“Mereka akan berdiskusi mengenai perkembangan regional dan internasional, termasuk situasi di Myanmar,” demikian pernyataan PMO, dilansir dari Channel News Asia. Para pemimpin juga akan membahas penguatan integrasi ASEAN dan perluasan kolaborasi di bidang-bidang utama seperti ekonomi digital dan ekonomi hijau.
Lee akan didampingi Menteri Luar Negeri Vivian Balakrishnan, serta pejabat dari Kementerian Luar Negeri. Selama Lee tidak berada di sana, Wakil Perdana Menteri Lawrence Wong akan menjadi Pelaksana Tugas Perdana Menteri.
Klaim China
Pertemuan di Jakarta merupakan KTT kedua yang diadakan Indonesia sebagai ketua ASEAN. Biasanya, pertemuan-pertemuan tersebut diadakan secara terpisah, satu di awal tahun dan yang lainnya di kemudian hari.
Menurut PMO, para pemimpin ASEAN juga akan bertemu dengan berbagai mitra eksternal, termasuk dalam KTT individual dengan negara-negara seperti Australia, Kanada, China, India, Jepang, Korea Selatan, dan Amerika Serikat.
Pada pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN pada bulan Juli, ASEAN dan China sepakat mengikuti pedoman yang akan mempercepat perundingan mengenai kode perilaku untuk Laut Cina Selatan.
Peta baru China, yang menampilkan garis putus tambahan ke-10 di sebelah timur Taiwan—mengklaim hampir seluruh Laut Cina Selatan dan beberapa wilayah daratan di India dan Rusia. India, Malaysia, Vietnam, Taiwan, Indonesia, dan Filipina telah menyatakan protes terhadap langkah ini.
Selama beberapa tahun, sejumlah negara ASEAN dan AS telah menantang klaim wilayah China di Laut Cina Selatan dan mencoba bernegosiasi mengenai kode perilaku untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. Namun, negosiasi terhenti karena berbagai alasan, termasuk pandemi COVID-19 yang menyulitkan untuk menggelar pertemuan tatap muka.
Ketika ditanya apakah ASEAN seharusnya menghentikan perundingan mengenai kode perilaku demi penyelesaian melalui lembaga pengadilan internasional, Kementerian Luar Negeri Indonesia mengatakan blok itu terus terlibat dalam diskusi untuk mencapai kesimpulan. “Daripada berhenti, kami berpikir sebenarnya akan bermanfaat bagi semua pihak untuk dapat melanjutkan dialog ini,” ujar Wakil Menteri Luar Negeri Pahala Mansury.
Krisis Myanmar
Ini adalah tahun kedua berturut-turut Myanmar tidak diundang ke KTT ASEAN. Hal itu setelah blok tersebut tahun lalu membuat keputusan untuk mengesampingkan junta Myanmar dari KTT ASEAN dan pertemuan menteri luar negeri.
Pada KTT pertama di Labuan Bajo Mei tahun ini, Lee mengatakan bahwa ASEAN tidak dapat kembali ke “kebiasaan seperti biasa” dengan Myanmar. Ini mengingat kemajuan yang sangat sedikit telah dicapai dalam Konsensus Lima Poin.
Para Menteri Luar Negeri ASEAN kemudian menekankan pada bulan Juli bahwa konsensus tetap menjadi rencana utama untuk perdamaian dalam krisis Myanmar. Ini mencakup penghentian segera kekerasan dan memulai dialog konstruktif di antara pihak-pihak yang terlibat.
Pada bulan Juni, Thailand mengadakan pertemuan informal dengan militer Myanmar, meskipun tidak dihadiri oleh sebagian besar anggota ASEAN, termasuk Indonesia yang saat itu menjadi ketua.
Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi mengatakan dalam pertemuan Juli bahwa negara tersebut telah mengadakan keterlibatan yang intensif dan luas dengan semua pemangku kepentingan di Myanmar. “Ini sangat kompleks, sama sekali tidak mudah,” katanya.
Pihaknya mengaku sangat prihatin melihat kekerasan yang terus berlanjut dan meningkat di Myanmar. Myanmar mengalami krisis sejak militer merebut kekuasaan dalam kudeta awal tahun 2021 terhadap pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi.