<p>Suasana Gedung dengan logo baru Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Gedung Kementerian BUMN, Jakarta, Senin, 6 Juli 2020. Logo baru yang diluncurkan pada Rabu, 1 Juli 2020 menjadi simbolisasi dari visi dan misi kementerian maupun seluruh BUMN dalam menatap era kekinian yang penuh tantangan sekaligus kesempatan. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Industri

Kupas Tuntas Saham BUMN Panas (Serial 2): Emas Antam dan Timah Kian Berkilau

  • PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA), PT Waskita Karya (Persero) Tbk (WSKT), PT Aneka Tambang (Persero) Tbk (ANTM), dan PT Timah Tbk (TINS). Keempat emiten ini tengah naik daun sepanjang November lantaran diguyur oleh sejumlah sentimen positif yang mengerek kinerja saham perseroan.

Industri

Fajar Yusuf Rasdianto

JAKARTA – Pernyataan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir pada pertengahan November lalu nyaris tak terbantahkan. Ketika dia menyebut saham-saham BUMN sedang panas, Erick pasti betul-betul sedang memerhatikan pergerakan saham BUMN dengan seksama.

Dia mengatakan waktu itu, saham-saham BUMN bekerja lebih baik dibandingkan saham-saham di Indeks LQ45. “18,7 persen peningkatan saham BUMN dibanding saham lain di bursa, LQ45 saja hanya 10 persen,” ungkap Erick pada Rabu, 18 November 2020.

Pernyataan itu tidak bisa dibantah karena faktanya memang demikian. Berdasarkan catatan TrenAsia.com, ada setidaknya empat saham emiten pelat merah yang tengah berlari kencang sepanjang November 2020.

Saham-saham itu antara lain, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA), PT Waskita Karya (Persero) Tbk (WSKT), PT Aneka Tambang (Persero) Tbk (ANTM), dan PT Timah Tbk (TINS). Keempat emiten ini tengah naik daun sepanjang November lantaran diguyur oleh sejumlah sentimen positif yang mengerek kinerja saham perseroan.

Namun pertanyaannya sekarang, sampai kapan sebetulnya sentimen positif itu bisa mengerek kinerja keempat perusahaan? Bagaimana dengan fundamental dan proyeksinya hingga akhir tahun?

TrenAsia.com telah merangkum beberapa indikator kinerja perusahaan untuk mengukur seberapa kuat fundamentalnya. Termasuk kinerja keuangan, dan enam indikator lain yang bisa menunjukkan potensi penguatan maupun penurunan keempat saham ini hingga akhir tahun.

Kemarin, Senin, 30 Desember 2020, kami sudah membahas dua fundamental emiten BUMN, yakni GIAA dan WSKT (Kupas Tuntas Saham BUMN Panas (Serial 1): Waskita dan Garuda Lepas Landas). Kali ini, giliran TINS dan ANTM yang bakal dibahas. Berikut rangkumannya.

3. Timah
Kantor PT Timah di kawasan Gambir Jakarta Pusat. Foto : Panji Asmoro/TrenAsia

Dalam sebulan terakhir, saham TINS tercatat menguat 35,5% atau 295 poin dari Rp830 pada 2 November 2020 menjadi Rp1.125 pada penutupan perdagangan Jumat, 27 November 2020.

Dibandingkan dengan awal tahun, saham TINS telah melonjak 36,7% dari Rp825 per lembar. Sedangkan, saham terendah TINS sepanjang tahun berjalan berada pada level Rp352, yakni pada 19 Maret 2020. Level tertingginya pada 18 dan 23 November di level Rp1.140. Berdasarkan data Bloomberg, penawaran saham perdana TINS pada 19 Oktober 1995 berada di level Rp2.900.

Meskipun nilai saham TINS terus menghijau, nyatanya kinerja keuangan perusahaan menunjukkan performa yang kurang baik. Hal ini ditunjukkan dengan penurunan pendapatan 18,42% year-on-year (yoy) menjadi Rp11,88 triliun per kuartal III-2020 dari periode yang sama tahun lalu Rp14,56 triliun.

Sejalan dengan hal tersebut, TINS juga mencatatkan rugi bersih Rp255,16 miliar pada triwulan ketiga tahun ini. Realisasi tersebut bahkan lebih buruk jika dibandingkan dengan kuartal III-2019, yakni Rp175,79 miliar.

Dari segi kinerja fundamental, TINS juga belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Hal itu terlihat dari rasio harga terhadap nilai buku (price to book value/PBV) TINS yang masih tergolong mahal di angka 1,7 kali dibandingkan dengan rata-rata industri 1,4 kali.

Sedangkan rasio laba perusahaan yang dibagi per lembar saham (price to earning ratio/PER) TINS negatif 32,63 akibat perseroan membukakan rugi bersih sepanjang tahun berjalan. Diikuti dengan earning per share (EPS) yang juga negatif 34,48.

Perusahaan tambang BUMN PT Timah Tbk. menderita rugi bersih pada 2019. / Timah.com
Menuju Tren Positif

Sementara itu, rasio utang terhadap modal (debt to equity ratio/DER) TINS masih di kisaran 1,47 kali. Di sisi lain, return on equity (ROE) dan return on asset (ROA) emiten pelat merah ini masing-masing negatif 5,18% dan minus 1,52%.

Analis dari Bina Artha Sekuritas, Muhammad Nafan Aji memperkirakan, saham TINS akan segera menuju tren positif pada 2021. Meski saat ini kinerja perusahaan dapat dikatakan terpuruk.

“TINS diproyeksikan tahun 2021 akan nett profit Rp178 miliar, jadi masih ada potensi dan harapan,” ujarnya kepada TrenAsia.com.

Sejalan dengan reli saham TINS yang melaju kencang, pembangunan smelter dengan teknologi ausmelt yang sedang digarap perusahaan juga turut mengundang sentimen positif. Pasalnya, smelter yang direncanakan rampung pada tahun depan ini dapat meningkatkan tingkat eksplorasi Timah.

“Pembangunan smelter ausmelt furnish ini juga ada proyek pengembangan. Ini juga esensial bagi TINS,” imbuhnya.

4. Aneka Tambang
Gedung Aneka Tambang (ANTAM) di Jalan TB Simatupang, Jakarta Selatan. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Terakhir, ada saham BUMN pertambangan, Aneka Tambang (Antam). Dalam sebulan terakhir, saham ANTM telah melesat 18,96% hingga pada Jumat, 27 November 2020 ditutup di level Rp1.230 dari sebelumnya Rp1.055 per lembar pada 2 November 2020.

Pertumbuhan harga saham ini menjadi sangat wajar mengingat belakangan Antam memang sedang diguyur sejumlah sentimen positif. Terbaru, ANTM resmi menjalin kolaborasi dengan perusahaan aki terbesar dunia, yakni Contemporary Amperex Technology Co Ltd (CATL) dan LG Chem Ltd.

Perusahaan tersebut akan membangun rantai pasok industri lithium battery dengan investasi mencapai US$20 miliar. Penandatanganan proyek dilaksanakan pada 9 November lalu, dan disaksikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif.

Namun jika melihat dari sisi harga, saham ANTM saat ini sudah terbilang cukup mahal atau overvalue mengingat pada awal tahun nilainya hanya Rp840 per lembar. Terpaut 49,4% jika dibandingkan dengan posisi harga pada perdagangan Jumat, 27 November 2020.

Posisi overvalue ini terkonfirmasi data Bloomberg yang menunjukkan bahwa kini PER perseroan sudah mencapai 63,10 kali. PER itu cukup tinggi jika dibandingkan dengan PER perusahaan di industri sejenis, seperti PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) yang kini masih di level 46,05 kali.

Meski begitu, jika merujuk pada PBV-nya saham ANTM justru terlihat lebih murah dengan 1,56 kali. Berbanding dengan PBV MDKA yang sudah mencapai 5,77 kali.

EPS perseroan pada saat yang sama hanya senilai Rp19,49 dengan ROE 2,5%, DY 23%, dan DER 0,64 kali. DER ANTM terbilang masih cukup sehat mengingat tingkatnya yang masih di bawah 1. Sebagai catatan saja, DER bakal dikatakan tidak sehat jika angkanya sudah lebih dari 4 kali atau 300% lebih tinggi dibandingkan dengan ekuitas.

Proses pemurnian emas di smelter PT Aneka Tambang (Persero) Tbk alias Antam / Facebook @OfficialAntam
Kinerja Ciamik

Selanjutnya, jika melihat laporan keuangan perusahaan pada kuartal III-2020, kinerja Antam sejatinya cukup ciamik. Tambang emas dan tembaga ini membukukan pertumbuhan laba bersih 30% dari Rp641,5 miliar pada kuartal III-2020 menjadi Rp835,7 miliar. Lonjakan laba di tengah pandemi ini terjadi setelah manajemen berhasil menekan beban pokok perseroan.

Dalam hal ini, beban penjualan dan pemasaran berhasil ditekan dari Rp1 triliun menjadi Rp341,1 miliar pada kuartal III-2020. Selain itu, beban pokok umum dan administrasi juga berkurang dari 1,3 triliun menjadi Rp1,16 triliun.

Sebaliknya, pendapatan Antam justru anjlok sebesar 26,5% yoy menjadi Rp18 triliun. Padahal, pada periode yang sama tahun lalu, pendapatan ANTM sempat mencapai Rp24,5 triliun.

Melihat kinerja tersebut, analis Bina Artha Sekuritas Muhammad Nafan Aji pun menilai bahwa harga saham masih punya potensi penguatan. Sebab, terlepas dari harganya yang sudah cukup tinggi, sentimen global saat ini agaknya masih mendukung kinerja Antam.

Dengan kondisi global yang masih penuh ketidakpastian, maka banyak investor yang cenderung bermain aman. Mereka mencoba berinvestasi di instrumen emas yang notabene merupakan bisnis utama dari Antam. Karena itu, Nafan pun menargetkan harga ANTM sampai akhir tahun menyentuh level Rp1.500 per lembar. “Jadi hold dan buy saja,” pungkas Nafan. (SKO)

Artikel ini merupakan serial lanjutan dari sebelumnya yang berjudul “Kupas Tuntas Saham BUMN Panas (Serial 1): Waskita dan Garuda Lepas Landas.