toko ritel gulung tikar
Fintech

Kupas Tuntas Tren Start Up Akuisisi Ritel Konvensional

  • Sejumlah start up e-commerce kakap, mulai dari Gojek hingga Blibli, mengakuisisi perusahaan ritel seperti Hypermart atau Ranch Market, mulai menjadi tren. Akankah aksi akuisisi ini menjadi ancaman atau peluang bagi UMKM?

Fintech

Ananda Astri Dianka

JAKARTA – Kemesraan perusahaan e-commerce dengan peritel offline semakin tampak. Bukan lagi dianggap sebagai kompetitor, keduanya justru mufakat untuk mengembangkan omnichannel untuk menjawab tantangan di masa depan.

Kian akurnya pelaku perdagangan berbasis online-offline tercermin dari aksi kolaborasi hingga akuisisi antara pebisnis ritel dengan pelaku e-commerce

Terbaru, perusahaan e-commerce milik Grup Djarum, PT Global Digital Niaga (Blibli.com) resmi mengakuisisi 51% saham PT Supra Boga Lestari Tbk (RANC), emiten pengelola supermarket premium Ranch Market dan Farmers Market senilai Rp2,03 triliun.

CEO & Co-Founder Blibli, Kusumo Martanto menyebut, kawinnya dua perusahaan menjadi momentum percepatan dan penguatan solusi omnichannel kedua entitas dalam mengembangkan layanan.

CEO RANC, Meshvara Kanjaya mengatakan, kolaborasi antara Blibli dan Ranch Market diharapkan dapat membangkitkan sektor retail dengan menggabungkan sistem online dan offline secara berkesinambungan.

Sebelumnya, ada PT Aplikasi Karya Anak Bangsa (Gojek) masuk ke jaringan ritel Grup Lippo melalui PT Matahari Putra Prima Tbk (MPPA), yang menaungi Hypermart. Melalui perusahaan afiliasinya, Gojek menggenggam 4,76% saham MPPA.

Ominchannel, Adaptasi Pandemi

Perusahaan e-commerce milik Grup Djarum, PT Global Digital Niaga (Blibli.com) resmi mengakuisisi 51% saham PT Supra Boga Lestari Tbk (RANC), emiten pengelola supermarket premium Ranch Market dan Farmers Market senilai Rp2,03 triliun. / Farmersmarket.co.id

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda melihat, aksi merger dan akuisisi merupakan bentuk upaya dari pengembangan ekosistem masing-masing platform.

Para e-commerce, kata dia, mengakui tak semua masyarakat Indonesia melek teknologi. Sehingga, masuk akal jika e-commerce menggandeng ritel offline guna memperlebar pasar bisnisnya.

“Bahkan sebelum ada akuisisi dan merger, para pelaku e-commerce sudah menggandeng toko klontong sebagai mitra. Jadi, jualan secara offline juga menjadi salah satu strategi untuk mendiversifikasi layanan,” kata Nailul pada TrenAsia.com, beberapa waktu lalu.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Nicholas Mandey mengutarakan, secara industri, fenomena maraknya kolaborasi dan akuisisi antara pelaku e-commerce dengan peritel konvensional mempertegas bahwa dikotomi antara perdagangan offline dan online tidak lagi berlaku.

Bahkan, tren yang terjadi saat ini sudah terprediksi sejak dua sampai tiga tahun kebelakang. Terlebih, pandemi COVID-19 membuat transformasi digital menjadi satu hal yang wajib dilakukan. 

"Suatu keniscayaan kolaborasi offline-online dalam model bisnis, distribusi channel atau supply chain. Ke depan, ini akan lebih terkonsolidasi," jelas Roy.

Selain memperluas pasar keduanya, model bisnis seperti ini juga berdampak baik bagi korporasi. Masuknya perusahaan e-commerce ke peritel konvensional dapat memperkuat kapitalisasi dan likuiditas perusahaan. 

"Aksi akuisisi dan merger ini membuktikan, pemain online dan offline tidak bisa berdiri sendiri. Pengikatnya disebut omnichannel.”

Jika peritel konvensional tidak bisa beradaptasi digital, maka memiliki riisko yang lebih tinggi terhadap kelangsungan bisnisnya. Buktinya, tren pertumbuhan ritel dalam tiga tahun terakhir mengalami penurunan hingga terkontraksi ke level 0,57% pada real sales index 2020.

Belum lagi, meskipun budaya belanja masyarakat sudah banyak beralih ke online, namun bukan berarti peritel konvensional tak dapat tempat. Sejumlah pihak berpendapat, jika pandemi COVID-19 sudah usai, kemungkinan masyarakat untuk kembali gandrung berbelanja offline tetap terbuka.

Keyakinan ini juga yang dimiliki oleh PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk (RALS). Walaupun Ramayana beradaptasi dengan dunia digital, tetapi perseroan juga tetap percaya diri dengan penjualan offline.

“Kami percaya COVID-19 ini sementara. Market kami yakni masyarakat menengah ke bawah masih lebih suka belanja offline,” kata Komisaris Independen Ramayana, Koh Boon Kim.

Menurutnya, penjualan daring dan luring sejatinya saling mengisi antara lain. Selama pandemi, penjualan daring memang sangat bisa diandalkan, tetapi dalam kondisi normal, budaya berbelanja masyarakat akan kembali ke luring.

Nasib UMKM

PT Aplikasi Karya Anak Bangsa (Gojek) masuk ke jaringan ritel Grup Lippo melalui PT Matahari Putra Prima Tbk (MPPA), yang menaungi Hypermart. Melalui perusahaan afiliasinya, Gojek menggenggam 4,76% saham MPPA. / Lippomallkemang.com

Pemerintah menargetkan 30 juta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) on boarding pada 2024. Terbaru, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) melaporkan, jumlah UMKM yang sudah onboarding ke dalam ekosistem digital mencapai 15,9 juta atau 24,9% dari total pelaku UMKM yang sekitar 65 juta unit. 

Sebelum pandemi COVID-19, pelaku UMKM yang terhubung ke dalam platform digital baru sebanyak 8 juta UMKM. Namun kini, jumlah UMKM yang telah terhubung ke dalam ekosistem digital naik 99% berkat pandemi. 

Pesatnya onboarding UMKM tak lepas dari berkembangnya e-commerce  di Indonesia. Hasil survei dari Google dan Temasek mencatat, ekonomi digital Indonesia di 2025 diproyeksikan akan menjadi yang terbesar di Asia Tenggara dengan nilai transaksi mencapai Rp 1.826 triliun. 

Sedangkan hasil survei Bank Indonesia pada 2020 mencatat nilai transaksi ekonomi digital melalui e-commerce mencapai Rp253 triliun pada 2024. Melalui gerakan bangga buatan Indonesia dari pemeintah, e-commerce menyediakan tempat istimewa bagi produk UMKM di dalam platform.

Lantas, apakah masuknya perusahaan ritel konvesnional ke e-commerce akan mengusik gerak UMKM? 

Menurut Nailul, tantangan UMKM sudah sangat berat tanpa harus bersaing dengan produk industri besar. Apalagi, di perdagangan offline, produk UMKM harus bersaing dengan produk-produk industri besar kapasitas produksi hingga pemasaran yang komplit.

Maka dari itu, ia melihat pemerintah berperan penting untuk meningkatkan kualitas UMKM dan menjaga persaingan bisnis di e-commerce tetap kondusif. Terlebih, para ritel besar sudah memiliki basis pasar yang cukup kuat, sehingga relatif lebih mudah menjaring konsumen di e-commerce.

“Jika perlu UMKM ini mempunyai stand khusus secara online maupun offline di setiap platform ecommerce ataupun tempat ritel besar,” usul Nailul.