<p>Ketua Dewan Pimpinan Pusat Generasi Anti Narkoba Indonesia (GANI), Djoddy Prasetio Widyawan (kedua kanan), Ketua KABAR dan Pengamat Hukum, Ariyo Bimmo (kedua kiri), Sekretaris Umum Personal Vaporizer Indonesia (APVI) Garindra Kartasasmita (kiri) dan Anggota APVI, Rhomedal (kanan) memasang stiker himbauan di toko Vapepackers, Jakarta, Rabu, 9 September 2020. Kegiatan ini merupakan sosialisasi mengenai bahaya penyalahgunaan narkoba pada produk tembakau alternatif atau rokok elektrik melalui gerakan sosial bertajuk “Gerakan Pencegahan Penyalahgunaan Rokok Elektrik (GEPPREK)” yang juga telah dilakukan di Denpasar, Bali, dan Bandung, Jawa Barat. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Industri

Kurangi Konsumsi Rokok, Pemerintah Jangan Hanya Fokus ke Cukai

  • JAKARTA— Pemerintah diminta untuk tidak hanya terfokus pada cukai untuk mengurangi konsumsi rokok. Ekonom Universitas Indonesia Vid Adrison mengatakan, keterjangkauan harga bisa menjadi opsi dalam pengendalian ini. “Kebijakan harga dinilai paling efektif untuk mengendalikan tingginya konsumsi tembakau di Indonesia,” ujarnya dalam Serial Diskusi “Refleksi Pengendalian Tembakau di Indonesia” Aliansi Jurnalis Independen Jakarta secara virtual, Senin, […]

Industri
Aprilia Ciptaning

Aprilia Ciptaning

Author

JAKARTA— Pemerintah diminta untuk tidak hanya terfokus pada cukai untuk mengurangi konsumsi rokok. Ekonom Universitas Indonesia Vid Adrison mengatakan, keterjangkauan harga bisa menjadi opsi dalam pengendalian ini.

“Kebijakan harga dinilai paling efektif untuk mengendalikan tingginya konsumsi tembakau di Indonesia,” ujarnya dalam Serial Diskusi “Refleksi Pengendalian Tembakau di Indonesia” Aliansi Jurnalis Independen Jakarta secara virtual, Senin, 26 Januari 2021.

Menurutnya, cukai memang bisa dijadikan instrumen untuk menaikkan harga, tetapi karena ada kecenderungan perusahaan yang menanggung, maka keberjalanan tidak akan efektif. Di samping itu, sekalipun pemerintah telah menetapkan tarif cukai, perusahaan masih harus menyesuaikan harga rokok sesuai dengan kemampuan konsumen.

“Perusahaan akan selalu berusaha membuat harga yang terjangkau, agar dia bisa menjual banyak,” kata Vid. Namun, ini akan berbeda jika pemerintah memiliki ketegasan untuk menentukan harga jual eceran. Dengan begitu, keterjangkauan rokok akan semakin sempit.

“Soalnya perokok tidak peduli dan tidak memikirkan berapa persen cukainya, yang penting harga akhirnya murah. Jadi, produsen itu lebih sensitif terhadap harga minimum dibandingkan dengan harga cukai karena mereka tidak membebankan cukai ke konsumen,” ujarnya.

Dua Mekanisme

Seperti diketahui, pengaturan harga rokok di Indonesia melalui dua mekanisme. Pertama, ketentuan minimum Harga Jual Eceran (HJE) sebagai harga yang didaftarkan di pita cukai. Kedua, Harga Transaksi Pasar (HTP) sebagai harga riil di tingkat konsumen.

Adapun pengawasan HTP sebagai harga rokok yang dibeli oleh konsumen, diatur dalam Perdirjen No.37/2017 tentang Cara Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau. Aturan tersebut mewajibkan pabrikan untuk mematok HTP minimum 85% dari harga jual eceran (HJE).

Sementara itu, sebelum 2017 harga rokok masih bisa dijual lebih rendah dari harga banderol oleh perusahaan besar. Hal ini disebut berbahaya bagi pengendalian konsumsi dan dikenal dengan istilah predatory pricing.

“Tentu ini melanggar undang-undang tentang praktik monopoli dan akan memicu perusahaan melakukan perang harga,” tambahnya.

Oleh sebab itu, tanpa adanya batasan harga, tujuan kebijakan cukai yang berlapis untuk melindungi perusahaan kecil akan sulit terwujud. Vid bilang, perusahaan rokok pun seharusnya mematuhi peraturan tersebut. Namun, fakta di lapangan ditemukan banyak pelanggaran.

“Banyak yang melanggar dengan menjual produknya di bawah 85%. Kementerian Keuangan perlu mengawasi dan memberikan hukuman yang tegas,” tuturnya.