Kurs Dolar Hari Ini: Jelang Penetapan Gubernur The Fed Baru, Rupiah Bakal Loyo ke Rp14.300
- Jelang penetapan Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat (AS) the Federal Reserve yang baru, rupiah diperkirakan melemah jika Jerome Powell terpilih kembali untuk menduduki jabatan itu untuk empat tahun ke depan.
Pasar Modal
JAKARTA - Jelang penetapan Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat (AS) the Federal Reserve yang baru, rupiah diperkirakan melemah jika Jerome Powell terpilih kembali untuk menduduki jabatan itu untuk empat tahun ke depan.
Seperti diketahui, Presiden AS Joe Biden akan menetapkan Gubernur the Fed baru pada akhir pekan ini, dan menominasikan kembali Jerome Powell. Pelaku pasar pun memprediksi Powell masih akan terpilih lagi untuk memimpin bank sentral Negeri Paman Sam tersebut.
Analis Pasar Uang sekaligus Kepala Riset dan Edukasi PT Monex Investindo Ariston Tjendra mengatakan Jerome Powell disebut memiliki visi yang sama dengan pemerintah AS dalam aspek pengetatan moneter. Dirinya menyebut percepatan tapering off mungkin dilakukan bila Jerome Powell kembali duduk di kursi Gubernur The Fed.
- Sering Dengar Porto Nyangkut, Pom-pom atau Serok? Ini Maksudnya..
- Menkominfo: Presidensi G20 Perkuat Agenda Transformasi Digital
- Swedia dan Indonesia Jajaki Kemitraan untuk Capai Agenda 2030
Walhasil, rupiah diprediksi Ariston melemah ke level Rp14.300 dengan potensi support di kisaran Rp14.220 per dolar AS. Pasar keuangan di emerging market, termasuk Indonesia, disebut Ariston bakal terdampak negatif bila percepatan tapering off dilakukan tanpa komunikasi publik yang terarah ke negara-negara mitra.
“Jerome Powell kemungkinan terpilih kembali sebagai Gubernur The Fed untuk periode kedua. Pasar menganggap terpilihnya kembali Powell akan mendukung rencana Bank Sentral AS untuk melakukan pengetatan moneter karena inflasi yang terus naik di AS,” ujar Ariston kepada TrenAsia.com, Selasa, 23 November 2021.
Dorongan untuk melakukan percepatan terjadi sebab laporan inflasi yang melejit di angka 6,2% year-on-year (yoy) atau tertinggi sejak 1990. Hal ini membuat pejabat the Fed mulai membuka opsi percepatan tapering off dengan menurunkan lagi stimulus pembelian US Treasury Bond atau Obligasi Pemerintah AS.
- Buntut Kasus Korupsi Pita Frekuensi, IM2 Denda Rp1,3 Triliun dan Tutup Layanan Indosat GIG
- Bukan Sea Grup, Bank Bumi Arta Malah Dicaplok Ajaib 24 Persen
- Bertabur SWF, Saham Mitratel (MTEL) Justru Terkoreksi pada Debut Perdana
“Selain itu beberapa pejabat Bank Sentral sudah mulai menyuarakan kemungkinan percepatan tapering. Pengetatan moneter di AS akan mendorong penguatan dolar AS,” papar Ariston.
Sejalan dengan hal ini, pelaku pasar mulai menunjukan minat yang tinggi terhadap instrumen dengan risiko rendah seperti obligasi pemerintah AS. Hal ini tercermin dari yield atau imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun yang menguat ke level 1,62%.
“Nilai tukar rupiah berpotensi tertekan turun hari ini dengan naiknya kembali yield obligasi pemerintah AS. Yield tenor 10 tahun sudah kembali ke atas 1,6%,” ungkap Ariston.