<p>Nasabah melakukan transaksi penarikan uang Rupiah di Jakarta, Kamis, 18 Februari 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Pasar Modal

Kurs Dolar Hari Ini: Jelang Rilis Neraca Perdagangan, Rupiah Bakal Perkasa

  • Tren surplus neraca perdagangan yang telah berjalan hingga 17 bulan terakhir, diprediksi terus berlanjut. Hal ini diprediksi bakal mendorong nilai tukar rupiah ke level Rp14.180 - 14.250 per dolar Amerika Serikat (AS).

Pasar Modal

Muhamad Arfan Septiawan

JAKARTA - Tren surplus neraca perdagangan yang telah berjalan hingga 17 bulan terakhir, diprediksi terus berlanjut. Hal ini diprediksi bakal mendorong nilai tukar rupiah ke level Rp14.180 - 14.250 per dolar Amerika Serikat (AS).

Analis Pasar Uang sekaligus Kepala Riset PT Monex Investindo Ariston Tjendra menyebut nilai impor kemungkinan meningkat pada Oktober 2021. Impor yang kemungkinan melejit, kata Ariston, menjadi indikasi perbaikan permintaan di dalam negeri.

“Dari dalam negeri, data neraca perdagangan bisa menjadi mover rupiah. Data yang surplus bisa membantu penguatan rupiah. Konsensus analis memperlihatkan impor yang kemungkinan meninggi. Tapi ini bisa diartikan impor dibutuhkan karena ekonomi dalam negeri mulai pulih,” jelas Ariston kepada TrenAsia.com, Senin, 15 November 2021. 

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca perdagangan Indonesia pada September 2021 mengalami surplus US$4,37 miliar. Tercatat ekspor mencapai US$20,60 miliar dan impor sebesar US$16,23 miliar. BPS akan mengumumkan angka neraca perdagangan untuk Oktober 2021 pada hari ini. 

Selain itu, kinerja keuangan mayoritas emiten di dalam negeri yang membaik kian menambah optimisme pelaku pasar terhadap pemulihan ekonomi. Hal ini disebut Ariston dapat membawa gairah terhadap pasar modal di Indonesia.

“Membaiknya pendapatan perusahaan menjadi cerminan perbaikan ekonomi di masa pandemi yang mendorong pelaku pasar masuk kembali ke aset berisiko,” ujar Ariston.

Kendati demikian, kekhawatiran inflasi global masih membayangi pergerakan rupiah pada hari ini. Tingkat inflasi yang tinggi di berbagai negara, lanjut Ariston, dapat memicu perubahan arah kebijakan moneter oleh bank sentral di berbagai negara.

“Di sisi lain, pelaku pasar masih mengkhawatirkan inflasi yang terus naik yang bisa mengganggu pertumbuhan ekonomi. Inflasi yang terus meninggi terutama di AS juga bisa memicu Bank Sentral AS untuk mempercepat kenaikan suku bunga acuannya,” jelas Ariston.

Gubernur The Federal Reserve (The Fed) Jerome Powell telah mengumumkan tapering off akan dimulai pada akhir November 2021. Bank sentral AS tersebut mengumumkan akan mengurangi secara berkala stimulus pembelian US Treasury Bond (Obligasi Pemerintah AS) menjadi US$15 miliar per bulan. 

Hal itu menandai adanya tapering off yang dilakukan Negeri Paman Sam. Stimulus perlahan dicabut setelah The Fed menilik perekonomian AS mulai bangkit kembali usai dipukul pandemi COVID-19.

Kebangkitan ekonomi AS ditandai dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) yang mencapai 6,2% year on year (yoy) pada Oktober 2021 atau tertinggi sejak 1990. Tidak hanya itu, Kementerian Ketenagakerjaan AS juga melaporkan telah menciptakan 531.000 lapangan kerja non-pertanian (non-farm payroll) pada Oktober 2021.