Kurs Dolar Hari Ini: Pelaku Pasar Resah The Fed Tingkatkan Suku Bunga, Rupiah Diramal Tertekan
- Rupiah diramal bergerak ke level Rp14.380-Rp14.400 per dolar AS dengan potensi support di kisaran Rp14.320 per dolar AS.
Pasar Modal
JAKARTA - Bank sentral Amerika Serikat (AS) The Fed telah mengumumkan pelaksanaan tapering off bakal dilakukan pada akhir November 2021. Selain menurunkan pembelian obligasi, adanya pengetatan moneter ini mulai membuka opsi kenaikan suku bunga acuan di AS.
Ariston Tjendra, analis pasar uang sekaligus Kepala Riset dan Edukasi PT Monex Investindo Futures mengatakan, pelaku pasar mulai mengantisipasi langkah The Fed terhadap pergerakan suku bunga acuan. Walhasil, rupiah diramal bergerak ke level Rp14.380-Rp14.400 per dolar AS dengan potensi support di kisaran Rp14.320 per dolar AS.
“Selain itu pasar juga menantikan data tenaga kerja AS bulan Oktober versi pemerintah yang akan dirilis malam ini. Data ini menjadi bahan pertimbangan Bank Sentral AS untuk menaikkan suku bunga acuannya bila data semakin membaik,” ujar Ariston kepada TrenAsia.com, Jumat, 5 November 2021.
- Ekspansi Penjualan, Matahari Department Store Bakal Buka 10 Gerai pada 2022
- Samuel Sekuritas Prediksi IHSG Menguat Pasca Pengumuman Tapering, Cek Rekomendasi Sahamnya
- Perusahaan Ritel Matahari Department Store Bagi Dividen Interim Rp100 per Saham, Simak Jadwalnya
Seperti diketahui, Bank sentral AS tengah memberlakukan suku bunga acuan terendah 0%-0,25% di masa pandemi COVID-19. Sementara itu, langkah awal tapering off dilakukan dengan mengurangi pembelian obligasi AS sebesar US$15 miliar per bulan dari nilai pembelian awal US$120 miliar per bulan.
Nilai pengurangan stimulus itu sesuai dengan prediksi pelaku pasar. Ariston bilang The Fed bisa merampingkan proses tapering off pada pertengahan 2022 bila mempertimbangkan nilai pengurangan stimulus yang cukup tinggi tersebut.
“US$15 miliar per bulan seperti yang diharapkan maka bisa selesai di pertengahan 2022. Kalau selesainya tapering lebih cepat dari perkiraan, dolar akan menguat,” jelas Ariston.
- Garuda Indonesia Terancam Bangkrut, Chairul Tanjung Berpotensi Merugi Rp19,7 Triliun
- Ini 3 Alasan Erick Thohir Pecat 4 Direktur dan 1 Komisaris MIND ID
- Terlilit Utang Rp4,2 Kuardiliun, Pemerintah Cina Minta Pemilik Evergrande Bayar Utang Pakai Uang Pribadi
Proses tapering off ini mempertimbangkan kondisi makro ekonomi Negeri Paman Sam yang telah menggeliat kembali. Hal ini tercermin dari tingkat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang susut sebesar 71,7%.
Tidak hanya itu, klaim tunjangan ketenagakerjaan juga terus menyusut dari 283.000 pada September menjadi 269.000 pada Oktober 2021. Di sisi lain, pemulihan ekonomi di dalam negeri masih berpeluang untuk menahan pergerakan rupiah.
Ariston menyebut pelonggaran PPKM atau restriksi mobilitas yang dilakukan berkala berimplikasi positif terhadap kemudahan berusaha. Selain itu, angka kasus terkonfirmasi COVID-19 yang terkendali juga bisa menyelamatkan rupiah dari tekanan The Fed.
“Di sisi lain, bila fokus pasar tidak lagi ke keputusan The Fed, rupiah berpeluang menguat lagi karena kondisi ekonomi Indonesia yang mulai pulih dan pandemi yang terkendali serta didukung oleh surplus neraca perdagangan,” jelas Ariston.