Kurs Dolar Hari Ini: Yield Obligasi AS Merosot, Rupiah Diramal Perkasa ke Rp14.200
- Booming harga komoditas disebut turut mendorong penguatan rupiah. Selain batu bara, Crude Palm Oil (CPO) diketahui tengah dalam tren penguatan harga dalam beberapa waktu terakhir.
Pasar Modal
JAKARTA - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) diprediksi mengalami penguatan. Hal ini dipicu pergerakan yield atau imbal hasil obligasi AS yang merosot ke level 1,57%.
Analis Pasar Uang Ariston Tjendra menyebut rupiah berpeluang menguat ke Rp14.200 dengan potensi resisten di Rp14.230 per dolar AS.
“Nilai tukar rupiah mungkin bisa menguat terbatas hari ini menyusul terkoreksinya yield obligasi pemerintah AS. Yield tenor 10 tahun terkoreksi ke bawah level 1,6% di 1,57%,” ucap Ariston kepada TrenAsia.com, Rabu, 13 Oktober 2021.
- Resmi Tersangka Penipuan, Begini Profil CEO Jouska Aakar Abyasa
- Delta Dunia Makmur (DOID) Akuisisi Kontraktor Tambang Australia Senilai Rp1,56 Triliun
- Penerima Dana Bloomberg Bongkar Kucuran Dana ke Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk Kampanye Anti Rokok
Selain itu, booming harga komoditas disebut turut mendorong penguatan rupiah. Selain batu bara, Crude Palm Oil (CPO) diketahui tengah dalam tren penguatan harga dalam beberapa waktu terakhir.
Harga CPO tercatat meroket 1.291 Ringgit Malaysia per ton atau 35,86% (year-to-date/ytd) hingga Senin, 11 Oktober 2021. Dalam sebulan terakhir, harga CPO meningkat 13,39% secara point-to-point.
Meski begitu, Ariston bilang penguatan rupiah ini bersifat terbatas. Pasalnya, masih ada potensi krisis energi yang membuat pelaku pasar lebih berhati-hati masuk ke instrumen berisiko.
Tidak hanya itu, belum adanya titik terang tapering off membuat pergerakan rupiah diramal terbatas pada hari ini. Ariston menyebut The Fed tampak masih menunggu rilis Indeks Harga Konsumen (IHK) terbaru di Negeri Paman Sam untuk menentukan waktu tapering off.
“Namun di sisi lain, pasar masih mewaspadai ancaman perlambatan ekonomi global karena kenaikan harga dan tersendatnya suplai energi dan juga kebijakan tapering AS yang mungkin akan diberlakukan bulan November. Isu-isu tersebut mendorong pasar keluar dari aset berisiko dan bisa membatasi penguatan rupiah,” ungkap Ariston.