<p>Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP-RTMM-SPSI) Sudarto (kedua kiri) bersama Ketua Majelis Pertimbangan Organisasi (MPO), Buyung Marizal, Sekretaris Umum Iyus Ruslan dan Ketua Bidang Hukum Hartono (dari kiri) menyampaikan aspirasi serikat pekerja yang menolak rencana Revisi PP 109/2012 di Jakarta, Jumat, 4 Juli 2021.Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Industri

Lakpesdam PBNU Tegaskan Wacana Revisi PP 109 Beratkan Petani

  • Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyayangkan rencana revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012.

Industri

Aprilia Ciptaning

JAKARTA – Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyayangkan rencana revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012.

PP tersebut berisi tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan.

Revisi ini dinilai tidak tepat apabila dilakukan pada situasi pandemi. Sebab, bisa semakin memperburuk kondisi petani tembakau yang mayoritas adalah nahdliyin atau anggota NU.

“Harusnya pemerintah memberikan angin segar, kok malah mau membunuh petani tembakau. Mayoritas petani tembakau merupakan warga Nahdliyin, mereka akan sangat terdampak,” ungkap Peneliti Lakpesdam PBNU Abdullah kepada media, Senin, 14 Juni 2021.

Menurutnya, petani merupakan kelompok paling rentan yang harus dilindungi di Industri Hasil Tembakau (IHT), terutama di masa pandemi. Maka, mereka harus menjadi prioritas ketimbang merevisi PP 109 yang dianggap tidak ada memiliki relevansi.

Seperti diketahui, sejumlah organisasi antitembakau terus mendorong pemerintah untuk segera menyelesaikan revisi PP 109/2012 pada tahun ini. Di sisi lain, pelaku IHT menilai langkah tersebut akan berdampak sistemik secara keseluruhan. 

“Petani tembakau sebelumnya saja sudah menjerit. Kalau direvisi, peluang mereka semakin sempit, semakin nyungsep,” kata Abdullah. Kebijakan yang diambil, kata dia, seharusnya didorong untuk berpihak kepada petani.

Sebagai informasi, sejumlah asosiasi di IHT, seperti Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-​SPSI), Gabungan Asosiasi Pengusaha Rokok Indonesia (Gappri), dan Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (GAPRINDO) juga kompak menyatakan penolakannya terhadap revisi PP 109/2012.

Asosiasi tersebut menganggap revisi aturan ini bisa mematikan IHT yang selama ini telah memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian Indonesia.

Kontribusi IHT sendiri telah menyumbang serapan tenaga kerja sebesar 6,4% di seluruh pekerja industri manufaktur. Sektor ini memberi dampak yang signifikan bagi ekonomi, dengan rantai pasok hulu-hilirnya. Namun, saat ini IHT menghadapi tantangan yang berat, termasuk tekanan regulasi dan upaya pulih dari dampak pandemi COVID-19. (RCS)