<p>Presiden Joko Widodo saat meninjau kawasan industri di Batang terkait relokasi investasi asing. / Setneg.go.id</p>
Industri

Laporan Khusus: Musim Semi Investasi RI di Tengah Pandemi dan Pemulihan Ekonomi

  • Indonesia masuk dalam peringkat ke dua di dunia sebagai negara tujuan investasi terbaik versi United Nation Conference on Trade and Development (UNCTD).
Industri
Muhamad Arfan Septiawan

Muhamad Arfan Septiawan

Author

JAKARTA – Indonesia menapaki babak baru pada tahun ini sebagai momentum perbaikan ekonomi. Pada tahun lalu, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia terpaksa harus terkontraksi 2,07% year on year (yoy) akibat pandemi COVID-19.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyiapkan stimulus jumbo dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2021 senilai Rp744,75 triliun. Dana jumbo itu bakal digunakan sebagai jaring pengaman bagi masyarakat ekonomi lemah yang terdampak pandemi COVID-19.

Meski begitu, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak mampu memenuhi sepenuhnya anggaran jumbo PEN 2021. Maka dari itu, Bendahara Negara pontang-panting mencari sumber dana dengan menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN).

Ilustrasi Pemerintah melalui Kementerian Keuangan menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) untuk membiayai APBN / Infografis: Deva Satria

Iklim Investasi Membaik, Negara Mudah Tarik Utang

Beruntungnya, iklim investasi yang membaik di Indonesia membuat Sri Mulyani lebih mudah menarik dana dari lelang SBN. Direktur Jenderal Pembiayaan dan Pengelola Risiko Luky Alfirman menyebut sentimen global saat ini menguntungkan pasar obligasi di emerging market seperti Indonesia.

“Likuiditas yang tinggi serta adanya sentimen dari Amerika Serikat membuat pasar obligasi di Indonesia mengalami peningkatan permintaan,” kata Luky dalam Media Briefing beberapa waktu lalu.

Pada April-Juni 2021, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat penerimaan dana dari SBN sebesar Rp233,38 triliun. Realisasi itu merupakan hasil dari lima kali lelang Surat Utang Negara (SUN), sekali lelang SUN tambahan, dan sekali lelang SUN private placement.

Pemerintah juga tercatat menerbitkan surat utang global seri Samurai Bond JPY 100. Lalu, enam kali Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), tiga kali lelang SBSN private placement, dan satu kali lelang tambahan SBSN.

Kemenkeu rencana masih bakal menarik Rp515 triliun dana lagi dari lelang SBN pada sisa tahun 2021. Hal ini diperlukan sebagai “bahan bakar” belanja negara yang membengkak akibat pandemi COVID-19.

Sementara itu, Kemenkeu mematok pembiayaan utang pada tahun ini maksimal menyentuh Rp958,1 triliun. Proyeksi ini lebih rendah Rp219,3 triliun dibandingkan target awal dalam APBN 2021 sebesar Rp1.177,4 triliun.

Kepala Ekonom Bank Permata Tbk (BNLI) Josua Pardede menjelaskan Indonesia mengalami keuntungan karena ekspektasi investor terhadap Amerika Serikat (AS) menyusut. Penyebabnya, tentu saja keputusan The Fed masih masih bakal memberikan stimulus US$120 miliar per bulan dan menahan suku bunga acuan di level 0%-0,25%.

“Masih jauhnya Tapering off yang dilakukan Amerika Serikat saya kira menjadi keuntungan tersendiri bagi Indonesia. Tren oversubscribed SBN kita masih berpeluang terjadi di sisa tahun ini, ucap Josua kepada Trenasia.com, Selasa, 3 Agustus 2021.

Potensi Tapering off semakin kecil usai Amerika Serikat mengumumkan pertumbuhan ekonominya yang sebesar 6,5% yoy. Realisasi itu lebih rendah dibandingkan dengan konsensus ekonomi yang menembus 8,5% yoy.

Perlambatan ekonomi di Negeri Paman Sam, kata Josua, semakin mendorong kepercayaan investor asing ke Indonesia. Derasnya investasi itu tidak hanya mengalir ke dompet negara.

Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) mencatat adanya peningkatan serapan obligasi korporasi pada paruh pertama tahun ini. Jumlah penerbitan obligasi korporasi naik dari Rp30,03 triliun pada semester I-2020 menjadi Rp43,37 triliun pada semester I-2021.

Josua menyebut kondisi bisa menjadi indikasi adanya pemulihan perekonomian. Kepercayaan investor terhadap kondisi ekonomi di dalam negeri menimbulkan optimisme pemulihan.

Selain dilihat dari derasnya modal masuk, iklim investasi Indonesia yang kinclong juga diakui oleh United Nation Conference on Trade and Development (UNCTD). Indonesia masuk dalam peringkat ke dua di dunia sebagai negara tujuan investasi terbaik versi lembaga tersebut.

Indonesia hanya kalah dari Meksiko pada daftar negara tujuan investasi terbaik di tahun ini. Meski begitu, Indonesia menjadi negara di Asia yang meraih peringkat paling tinggi di tahun ini.

Posisi ketiga diraih oleh Lithuania, disusul Negeri Jiran Malaysia, dan Uni Emirat Arab (UEA). Peringkat ini diperoleh dari hasil survei terhadap 4.919 pengambil keputusan bisnis di berbagai perusahaan.

Adapun indikator yang dinilai oleh pengambil keputusan tersebut antara lain tingkat korupsi, kemudahan berbisnis, kestabilan ekonomi, hingga tingkat kewirausahaan. Lalu, perpajakan yang progresif, inovasi, tenaga kerja, hingga kecakapan penguasaan teknologi.

Banjir Proyek Baru

Mobil listrik produksi Hyundai asal Korea Selatan / Mobil listrik / Hyundai.com

Meningkatnya optimisme asing terhadap kondisi ekonomi membuat mereka tidak ragu lagi untuk memulai proyek-proyek strategis di Indonesia. Paling baru, Konsorsium Hyundai yang terdiri atas Hyundai Motor Company, KIA Corporation, Hyundai Mobis, dan LG Energy Solution resmi menyuntikkan investasi sebesar US$1,1 miliar setara Rp15,9 triliun (kurs Rp14.491 per dolar AS).

Investasi itu digunakan untuk pembangunan pabrik baterai di Karawang, Jawa Barat, yang bekerja sama dengan PT Industri Baterai Indonesia atau Indonesia Battery Corporation (IBC). Proyek ini merupakan satu dari ribuan proyek investasi lain yang diperoleh Indonesia pada semester I-2021.

Menurut catatan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), setidaknya terdapat lima sektor utama yang paling banyak dilirik investor asing selama paruh pertama tahun ini. Di posisi pertama, ada industri logam dasar yang mendatangkan 550 proyek dengan total nilai investasi sebesar US$3,47 miliar atau setara Rp50,41 triliun (asumsi kurs Rp14.494,30 per dolar Amerika Serikat).

Nilai investasi industri logam dasar menguasai 21% dari total realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) Indonesia semester I-2021 yang sebesar Rp229,5 triliun. Meski masih tertekan pandemi, rupanya industri transportasi masih dilirik oleh investor.

Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan hal ini menjadi bukti industri di Indonesia bakal semakin kuat usai pandemi berakhir.  Nilai investasi di industri transportasi mencapai US$1,75 miliar yang berasal dari 559 proyek.

Sementara itu industri dengan perolehan proyek terbanyak jatuh pada sektor pergudangan. Industri gudang meraih 1.216 proyek baru dengan nilai investasi menembus US$1,50 miliar.

Sementara itu industri telekomunikasi serta makanan dan minuman (mamin) meraih nilai investasi mencapai US$1,45 miliar dan  US$1,44 miliar. Dua sektor ini juga membukukan jumlah proyek baru masing-masing sebanyak 382 dan 297 proyek. Secara keseluruhan, capaian PMA Indonesia pada semester I-2021 ini telah tumbuh 16,8% yoy. 

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Randy mengatakan investasi menjadi entitas utama yang bisa mencegah terjadinya resesi ekonomi pada tahun ini. Selain itu, investasi juga diklaim mampu memacu pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini.

“Kita lihat adanya lonjakan kasus COVID-19 dan restriksi mobilitas kembali dilakukan. Investasi menurut saya bisa menjaga industri kita tidak jatuh dan bisa juga memperbaiki kondisi pengangguran pasca pandemi COVID-19. Kinerjanya sangat baik di semester I-2021 ini,” ujar Yusuf kepada Trenasia.com, Selasa, 3 Agustus 2021.

Berkah Harga Komoditas

Ilustrasi: Tambang nikel PT Aneka Tambang Tbk (Antam) / Pertambangan nikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) / Dok. Antam

Yusuf juga mengatakan adanya berkah kenaikan harga komoditas semakin membuat kondisi industri dan investasi Indonesia berada di atas angin. Menururnya, kinerja ekspor di Indonesia bahkan sudah pulih ke level pra pandemi karena dorongan lonjakan harga komoditas ini.

“Sejumlah komoditas andalan Indonesia seperti nikel, tembaga, dan kelapa sawit ini menopang kinerja ekspor kita pada paruh pertama tahun ini,” jelas Yusuf.

Indonesia masih melanjutkan selama enam bulan berturut-turut. Badan Pusat Statistik (BPS) menghimpun surplus neraca perdagangan sepanjang semester I-2021 menembus US$11,86 miliar atau lebih tinggi dibandingkan dengan semester I-2020 yang hanya US$5,42 miliar. 

Hal ini ditopang oleh perolehan ekspor Indonesia yang mencapai US$102,87 miliar pada paruh pertama 2021. Capaian itu lebih tinggi 34,78% dibandingkan semester I-2020 yang hanya US$76,33 miliar.

Di sisi lain, kinerja impor selama semester I-2021 mengalami pertumbuhan 28,46% yoy. Nilai impor sepanjang Januari-Juni 2021 naik dari US$70,90 miliar menjadi US$91,01 miliar.

Kenaikan kinerja impor, kata Yusuf, merupakan implikasi langsung dari membaiknya kondisi permintaan di level industri. Dengan capaian ini, Yusuf memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2021 bisa menyentuh 4,5%-5,5% yoy.

Sementara untuk keseluruhan tahun, pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi bisa mencapai 2,5%-3,5%. Proyeksi ini telah memperhitungkan adanya lonjakan kasus COVID-19 dan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 4 pada awal semester II-2021.