Logo TikTok
Dunia

Larang TikTok, UMKM Amerika Bisa Kehilangan Rp383 Triliun

  • Sejak hadir di Amerika Serikat, TikTok telah menjadi motor penggerak ekonomi digital. Pada tahun 2023, platform ini menyumbang sekitar US$24,2 miliar atau sekitar Rp383,87 triliun (kurs Rp15.850) ke Produk Domestik Bruto (PDB) AS, menciptakan 224.000 lapangan kerja, dan memberikan kontribusi pajak sebesar US$5,3 miliar atau sekitar Rp84,01 triliun.

Dunia

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA - TikTok, platform media sosial yang meraih popularitas global, akan resmi dilarang di Amerika Serikat mulai 19 Januari 2025. 

Keputusan ini muncul setelah pengadilan federal menolak banding yang diajukan ByteDance, perusahaan induk TikTok asal China, terhadap undang-undang yang mengharuskan mereka menjual kepemilikan kepada perusahaan non-Cina. 

Meski larangan ini dianggap oleh beberapa pihak sebagai upaya melindungi keamanan nasional, dampaknya terhadap ekonomi dan komunitas kreator AS dinilai akan sangat signifikan.

Sejak hadir di Amerika Serikat, TikTok telah menjadi motor penggerak ekonomi digital. Pada tahun 2023, platform ini menyumbang sekitar US$24,2 miliar atau sekitar Rp383,87 triliun (kurs Rp15.850) ke Produk Domestik Bruto (PDB) AS. Selain itu menciptakan 224.000 lapangan kerja, dan memberikan kontribusi pajak sebesar US$5,3 miliar atau sekitar Rp84,01 triliun. 

Angka ini mencakup pendapatan UKM sebesar US$15 miliar atau sekitar Rp237,75 triliun, yang sebagian besar diperoleh melalui jangkauan organik dan iklan di TikTok.

Dilansir Reuters, bagi banyak bisnis kecil, TikTok adalah alat pemasaran yang tak tergantikan. Contohnya adalah Felicia Jackson, pemilik bisnis yang berhasil meraup penjualan sebesar US$300.000 atau sekitar Rp4,76 miliar hanya dalam dua hari berkat platform ini. Desiree Hill, pemilik usaha lainnya, berhasil memperluas bisnisnya hingga mampu mempekerjakan lima karyawan baru.

Namun, dengan adanya larangan ini, bisnis kecil akan kehilangan akses ke audiens mereka, mengancam kelangsungan usaha dan inovasi yang telah dibangun selama bertahun-tahun.

Dampak terhadap Kreator Konten dan Bisnis

TikTok juga telah menjadi sumber pendapatan utama bagi ribuan kreator di AS. Salah satu kreator, Shira, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap ancaman kehilangan pendapatan tanpa adanya jaring pengaman. Selain memberikan hiburan, kreator di TikTok berperan sebagai duta merek yang membantu bisnis kecil dan menengah memperluas pasar mereka.

Menurut proyeksi, larangan tersebut dapat menyebabkan UKM kehilangan lebih dari US$1 miliar atau sekitar Rp dan kreator hampir US$300 juta atau sekitar Rp hanya dalam satu bulan pertama penerapannya. Kehilangan tersebut tidak hanya memengaruhi ekonomi lokal tetapi juga membatasi akses pengguna terhadap konten yang beragam.

Larangan tersebut tidak hanya berdampak pada pelaku usaha di AS, tetapi juga pada bisnis internasional yang menargetkan pasar Amerika. Merek kosmetik asal Korea dan China, yang sebagian besar konsumennya adalah Gen Z, diperkirakan akan kehilangan akses ke salah satu pasar terbesar mereka. Dampak domino ini menunjukkan bagaimana keputusan pemerintah AS dapat memengaruhi ekosistem bisnis global.

Langkah TikTok Melawan Larangan

TikTok tidak tinggal diam menghadapi ancaman ini. Perusahaan telah mengajukan gugatan hukum dan permohonan darurat ke Mahkamah Agung AS. Shou Zi Chew, CEO TikTok, menegaskan bahwa larangan ini melanggar kebebasan berekspresi dan suara pengguna yang dilindungi oleh Amandemen Pertama Konstitusi AS.

Namun, posisi ByteDance menjadi rumit karena aturan ekspor dari pemerintah China membatasi transaksi yang melibatkan teknologi tertentu, sehingga menyulitkan proses penjualan TikTok kepada perusahaan non-Cina.

Organisasi seperti Electronic Frontier Foundation (EFF) menyebut larangan ini sebagai pembatasan aliran informasi yang bebas dan tidak demokratis. Keputusan ini dianggap dapat menciptakan preseden buruk bagi platform digital lain di masa depan.

Di sisi lain, mantan Presiden Donald Trump, yang selama masa jabatan pertamanya mengeluarkan perintah eksekutif untuk membatasi TikTok, diproyeksikan akan memainkan peran penting dalam menentukan nasib platform ini. Trump, yang baru saja terpilih kembali sebagai presiden, telah menjanjikan langkah untuk menyelamatkan TikTok, meski arah kebijakan tersebut masih belum jelas.

TikTok telah menghadapi tantangan serupa sebelumnya. Pada 2020, Microsoft menyatakan kesiapannya membeli TikTok, tetapi transaksi tersebut tidak terealisasi karena berbagai alasan teknis dan politik. Kini, dengan tenggat waktu 19 Januari 2025 yang semakin dekat, opsi untuk menyelamatkan operasional TikTok di AS semakin terbatas.

Dengan semua ketidakpastian yang ada, masa depan TikTok di AS masih berada di ujung tanduk. Jika larangan ini tetap berlaku, Amerika akan kehilangan salah satu platform digital paling dinamis yang telah membantu jutaan bisnis dan kreator meraih kesuksesan.

Sementara itu, masyarakat global akan terus memantau bagaimana keputusan ini memengaruhi lanskap digital dan ekonomi. Apakah TikTok akan mampu bertahan, atau apakah larangan ini menjadi akhir dari babak penting dalam sejarah media sosial? Waktu yang akan menjawabnya.