LBH Jakarta: Kebijakan ERP Tidak Berpihak pada Kelompok Ekonomi Lemah
- Rencana Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menerapkan jalan berbayar atau Electronic Road Pricing (ERP) dinilai akan membuat kesenjangan sosial
Nasional
Jakarta- Rencana Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menerapkan jalan berbayar atau Electronic Road Pricing (ERP) dinilai akan membuat kesenjangan sosial semakin tinggi. Pasalnya, ERP hanya akan dinikmati oleh masyarakat mampu atau ekonomi menengah ke atas, sementara masyarakat ekonomi lemah dibatasi mobilitasnya.
Pengacara Publik LBH Jakarta Jihan Fauziah Hamdi mengatakan jika ERP benar diterapkan justru bukan menjadi solusi mengatasi kemacetan, melainkan menjadi masalah baru dan menjauhkan Jakarta sebagai kota yang inklusif. Yaitu kota dimana semua masyarakat mampu hidup bersama-sama dengan aman dan nyaman, serta mempunyai kesempatan yang sama untuk berpartisipasi penuh dalam dimensi spasial, sosial dan ekonomi tanpa adanya diskriminasi.
Menurut Jihan, jika ERP diterapkan di 25 ruas jalan di ibu kota, akan ada biaya tambahan yang harus dikeluarkan masyarakat dalam bermobilitas. Biaya yang dikeluarkan pun cukup tinggi, karena tarif ERP direncanakan berada pada kisaran Rp5.000-Rp19.000 setiap kali melintas di 25 ruas jalan tersebut di atas.
“Masyarakat kita belum sepenuhnya pulih sebagai dampak dari pandemi. Banyak warga yang ekonominya belum stabil atau bahkan belum mendapatkan pekerjaan setelah dirumahkan saat pandemi lalu. Karena itulah, saya rasa kebijakan ini sangat tidak tepat untuk diterapkan dalam waktu dekat,” kata Jihan, Kamis 2 Maret 2023.
- Pegadaian Operasikan 15 Bank Sampah di Padang
- Geothermal Belum jadi Pilihan Utama EBT, Bagaimana Nasib Saham PGEO Usai IPO?
- Eksperimen 4 Hari Kerja di Inggris Tuai Hasil Menggembirakan
- Misi untuk Menyelamatkan Katak Terbesar di Bumi
Jihan juga mengkritisi mengenai rencana kebijakan ERP yang tidak melibatkan masyarakat secara luas. Seperti pembentukan Peraturan Daerah (Perda) mengenai penerapan ERP yang terkesan dibuat dalam keadaan terburu-buru tanpa adanya partisipasi yang berarti dari masyarakat.
Padahal dalam Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan telah mengatur bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan atau tertulis dalam pembentukan Perda tersebut.
“Seharusnya masyarakat diberikan kesempatan untuk menyampaikan pendapat dan dilibatkan terkait kebijakan ERP karena menyangkut kepentingan umum. Bahkan ini juga jadi tanda tanya apakah ERP menjawab kebutuhan masyarakat dan apakah bisa menyelesaikan persoalan kemacetan di Jakarta,” ujarnya.
Pemprov DKI Jakarta, lanjut Jihan, seharusnya memprioritaskan aksesibilitas transportasi publik dibanding memaksakan penerapan ERP. Masalahnya, ketersediaan dan keterjangkauan transportasi publik untuk daerah sub-urban, yang menjadi tempat tinggal mayoritas kelas menengah ke bawah masih buruk sehingga banyak warga yang menggantungkan pada transportasi pribadi.
“Aksesibilitas transportasi publik kita belum memadai. Orang-orang Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (BoDeTaBek) yang bekerja di Jakarta tentu lebih banyak menggunakan KRL, di samping MRT, LRT, atau Trans Jakarta. Tapi semuanya belum cukup menampung. Bahkan penumpukan penumpang kereta di Stasiun Manggarai beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa angkutan publik belum bisa sepenuhnya melayani masyarakat,” ungkapnya.
Di saat angkutan publik penting untuk diprioritaskan, kata Jihan, Pemerintah DKI Jakarta justru berencana memotong subsidi PSO TransJakarta dan menghapus anggaran pembangunan jalur sepeda dalam Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) 2023. Hal tersebut masih ditambah dengan wacana kenaikan tarif KRL Commuter Line berdasarkan kelompok ekonomi masyarakat.
“Tingkat keterjangkauan transportasi publik untuk daerah sub-urban masih minim. Jadi jangan salahkan jika masyarakat masih banyak yang menggantungkan pada transportasi pribadi,” pungkas Jihan.