Lekatnya Tembakau Pada Sosial dan Budaya Indonesia
- Rokok memiliki aroma yang melekat terhadap aspek sosial dan budaya di Indonesia, kelekatan antara rokok dan budaya menjadi hal yang tidak dapat dipisahkan.
Nasional
JAKARTA — Industri Hasil Tembakau (IHT) di Indonesia memiliki akar sejarah yang dalam dan kontribusi yang signifikan terhadap budaya serta ekonomi nasional. Sejak zaman kolonialisme, tembakau telah menjadi komoditas penting yang tidak hanya memengaruhi sektor ekonomi, tetapi juga membentuk aspek sosial dan budaya masyarakat Indonesia. Meski tembakau bukan tanaman asli Indonesia, ia telah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat selama berabad-abad.
Sejarah Tembakau di Indonesia: Dari Kolonialisme hingga Kemerdekaan
Tembakau mulai ditanam di Indonesia pada abad ke-17 oleh pemerintah kolonial Belanda. Pada masa itu, perkebunan tembakau menyebar ke wilayah Jawa, Sumatra, Bali, dan Lombok, dengan daerah seperti Kediri, Kedu, serta wilayah antara Semarang dan Surabaya menjadi pusat produksi utama. Meskipun bukan tanaman asli Nusantara, tembakau diintegrasikan ke dalam kehidupan masyarakat lokal sebagai komoditas ekspor penting bagi Belanda.
Pada masa tanam paksa yang diberlakukan oleh Gubernur Hindia Belanda Van den Bosch pada tahun 1830, tembakau menjadi salah satu tanaman wajib yang ditanam oleh masyarakat bumiputera. Keuntungan dari ekspor tembakau meningkat pesat, dari 180 ribu gulden pada tahun 1830 menjadi 2,3 juta gulden pada tahun 1845.
Selama periode 1870 hingga 1940, tembakau terus berkembang sebagai komoditas utama di berbagai daerah, memberikan dampak sosial-ekonomi yang signifikan bagi masyarakat lokal.
Dalam buku "Kretek: Kemandirian dan Kedaulatan Bangsa Indonesia", penyair terkenal W.S. Rendra menyoroti bahwa tembakau, terutama kretek campuran tembakau dengan cengkeh mewakili kreativitas luar biasa masyarakat Indonesia. Kretek telah berkembang menjadi simbol nasionalisme ekonomi pada awal abad ke-20, saat pengusaha lokal menghadapi diskriminasi perpajakan dari pemerintah kolonial.
Industri ini tidak hanya menjadi sumber pendapatan, tetapi juga menjadi medium bagi masyarakat Indonesia untuk memperjuangkan kemandirian ekonomi.
Peran Ekonomi Industri Tembakau
Seiring berjalannya waktu, industri tembakau di Indonesia berkembang pesat. Salah satu pionir industri kretek adalah Nitisemito yang mendirikan pabrik rokok Tjap Bal Tiga di Kudus pada awal abad ke-20. Perusahaan-perusahaan besar lainnya seperti Sampoerna, yang didirikan oleh Liem Seng Tee di Surabaya pada tahun 1930-an, serta pabrik-pabrik rokok terkemuka lainnya seperti Bentoel, Nojorono, Djambu Bol, Djarum, dan Gudang Garam, turut mendorong pertumbuhan sektor ini.
Hingga saat ini, industri tembakau tetap menjadi salah satu sektor yang menyerap jutaan tenaga kerja, mulai dari petani tembakau hingga pekerja pabrik dan pedagang rokok. Menurut Kementerian Perindustrian, lebih dari 6 juta orang terlibat langsung dan tidak langsung dalam sektor ini.
Selain itu, tembakau juga menjadi sumber pendapatan utama negara melalui cukai tembakau. Pada 2023, penerimaan negara dari cukai tembakau mencapai lebih dari Rp200 triliun, yang digunakan untuk berbagai program pembangunan nasional.
Budaya Tembakau dan Identitas Nasional
Selain peran ekonominya, tembakau juga memiliki keterikatan erat dengan budaya Indonesia. Kretek, rokok tradisional berbahan campuran tembakau dan cengkeh, tidak hanya menjadi simbol nasionalisme, tetapi juga identitas budaya.
Tradisi ini berkembang di berbagai daerah, terutama di Jawa, dan terus menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia hingga hari ini. Dalam beberapa ritual adat, seperti pernikahan atau acara keagamaan, rokok kretek sering disajikan sebagai simbol penghormatan kepada tamu.
Tembakau juga telah menjadi bagian dari budaya pertemuan sosial. Di beberapa komunitas, menyajikan rokok kepada tamu adalah bentuk penghormatan, dan hal ini memperkuat posisi tembakau sebagai bagian penting dari adat istiadat lokal.