<p>Sumber foto: Instagram @lepolorunofficial</p>
Gaya Hidup

Lepo Lorun Berdayakan Perempuan di Industri Pariwisata

  • JAKARTA – Alfonsa Horeng, perempuan asli Sikka, Nusa Tenggara Timur, mengelola sentra tenun ikat sejak 2004 yang diberi nama Lepo Lorun. Lepo Lorun yang berarti rumah tenun berdiri di tengah perkebunan kakao dan kelapa. Sebelum pandemi setiap harinya destinasi tersebut dikunjungi turis baik lokal maupun mancanegara. “Kami memiliki galeri yang memamerkan koleksi tenunan. Selain itu […]

Gaya Hidup
Gloria Natalia Dolorosa

Gloria Natalia Dolorosa

Author

JAKARTA – Alfonsa Horeng, perempuan asli Sikka, Nusa Tenggara Timur, mengelola sentra tenun ikat sejak 2004 yang diberi nama Lepo Lorun. Lepo Lorun yang berarti rumah tenun berdiri di tengah perkebunan kakao dan kelapa.

Sebelum pandemi setiap harinya destinasi tersebut dikunjungi turis baik lokal maupun mancanegara.

“Kami memiliki galeri yang memamerkan koleksi tenunan. Selain itu turis bisa menginap di homestay, berfoto mengenakan kain tenun, belajar menenun, sampai cooking class. Semuanya itu berdampak pada ekonomi,” ujar Alfonsa dalam bincang Pekan Raya Pariwisata, Selasa, 22 September 2020.

Pekan Raya Pariwisata digelar oleh Telusuri.id yang mengangkat tema #NgobrolBareng Perempuan Bisa Apa di Industri Pariwisata?

Telusuri.id adalah wadah bagi penulis perjalanan dan akademisi pariwisata untuk mempublikasikan cerita atau menyebarkan gagasannya.

Alfonsa memaparkan, tradisi menetapkan hanya perempuan yang boleh beraktivitas di Lepo Lorun. Terdapat 30 penenun yang bergabung.

Produk yang dihasilkan adalah kain tenun sebagai identitas suku yang digunakan untuk belis, persembahan adat, dan hubungan kekerabatan. Selebihnya, tenun itu dijual.

“Kami bukan mass production,” tutur Alfonsa.

Lepo Lorun didirikan dengan tujuan meneruskan prinsip kerja atau metode dari leluhur atau pendahulu perempuan yang telah memberi jalan. Seiring modernisasi dari tahun ke tahun yang menyebabkan berkurangnya penenun, Lepo Lorun hadir sebagai wadah pelestarian tenun.

“Berjalannya waktu Lepo Lorun dimanfaatkan untuk media edukasi, fashion, sampai ecotourism,” kata Alfonsa.

Melalui virtual tour yang berlangsung Alfonsa menunjukkan sekelompok perempuan yang tengah menenun. Bahan berupa kapas diambil dari serat tumbuhan.

Kapas yang telah dipisahkan dari biji selanjutnya dipintal menjadi benang. Semua proses dilakukan secara tradisional.

“Desain dikerjakan dengan cara ikat atau tie dye menggunakan pewarna alam,” kata Alfonsa.

Lepo Lorun adalah sentra kegiatan yang mencakup aspek lingkungan, sosial, dan budaya. Alfonsa selalu menggaungkan isu lingkungan, seperti rumah yang terbuat dari bambu dan alang-alang.

Selain itu, lahan dimanfaatkan untuk menanam kapas dan tumbuhan pewarna alam.

“Kami ingin membuka mata millenial dan pemerintah bahwa hal yang dianggap punah bisa memberi dampak untuk ilmu pengetahuan dan kelestarian lingkungan,” kata Alfonsa.

Kesetaraan Gender

Menanggapi gerakan Lepo Lorun, Tourism Analyst Febrianti Tentyana menyampaikan, pariwisata berkelanjutan bukan sekadar tren, juga kebutuhan sehingga harus dikemas seapik mungkin.

Dengan demikian, turis memiliki kesadaran terhadap pariwisata yang bertanggung jawab.

“Sejak menjadi traveler, saya banyak bertemu perempuan hebat, seperti instruktur diving atau polisi hutan yang tetap menjalankan tugas meskipun tengah hamil,” ujar Febrianti.

Febrianti tidak melihat pariwisata berdasarkan pengelompokan gender. Ia memberi contoh perempuan pembuat kebijakan yang memiliki andil besar dalam industri pariwisata.

“Kebetulan saya tidak pernah merasakan diskriminasi dalam lingkungan pekerjaan. Saya harap hal itu tidak dialami siapapun,” kata Febrianti.

Berkaitan dengan isu tersebut, Alfonsa menyampaikan bahwa tidak ada diskriminasi gender di daerahnya. Pasalnya, perempuan merupakan tulang punggung, harapan keluarga yang lebih banyak mengatur rumah tangga.

Sebagian besar pekerjaan dilakukan perempuan sepanjang hari dan tidak mengenal musim.

“Mereka harus tenang dan konsentrasi saat menenun karena ini pekerjaan mulia dan memberi nafkah untuk keluarga,” kata Alfonsa.

Alfonsa mengakui, selama pandemi aktivitas di Lepo Lorun cukup terganggu. Tidak ada pemasukan untuk operasional kegiatan selama tiga bulan.

Ia bersyukur belakangan Lepo Lorun kembali didatangi masyarakat Maumere mengingat wilayah mereka tergolong zona hijau.

“Tentunya dengan menerapkan protokoler yang diatur pemerintah,” ucap Alfonsa.

Febrianti mengutarakan, tantangan yang kerap dijumpai ketika melakukan penelitian kepariwisataan adalah data yang holistik. Mau tidak mau ia harus bekerja sama dengan penyedia data dari luar negeri.

Alfonsa berharap Lepo Lorun mampu memberikan pencerahan untuk generasi mendatang. Terbukti saat ini banyak sekali ibu yang melibatkan anak atau cucunya untuk menenun.

Sebab, ukuran kedewasaan seorang perempuan yang akan berumah tangga adalah kemampuan menenun.

“Sudah ada pembagian tugas. Laki-laki hanya membuatkan peralatan tenun atau beternak dan bertani,” kata Alfonsa.

Alfonsa melanjutkan, semoga ke depannya semakin banyak perempuan Indonesia menggunakan produk lokal seperti batik atau tenun. Cara tersebut diharapkan mampu menghidupi para penenun serta menjaga jati diri dan integritas bangsa.

Sementara itu, Febrianti mengamati, pandemi memberikan keleluasaan kepada perempuan dalam memanfaatkan digitalisasi di bidang pariwisata. Tentunya langkah tersebut bisa meningkatkan taraf hidup yang lebih baik.