Ilustrasi bank.
Perbankan

Lika-liku Kebangkrutan BPR dan Upaya Penyehatan dari Regulator

  • Pencabutan izin usaha lima BPR sejak awal 2024 menandai upaya regulator untuk menstabilkan sektor ini dan mengembalikan kepercayaan publik.
Perbankan
Idham Nur Indrajaya

Idham Nur Indrajaya

Author

JAKARTA - Industri perbankan di Indonesia, khususnya Bank Perkreditan Rakyat (BPR), menghadapi tantangan berat yang membutuhkan intervensi tegas dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). 

Pencabutan izin usaha lima BPR sejak awal 2024 menandai upaya regulator untuk menstabilkan sektor ini dan mengembalikan kepercayaan publik.

Krisis yang melanda BPR bukanlah fenomena baru. Sejak 2005, Indonesia telah menyaksikan 127 BPR mengalami kebangkrutan, sebuah kondisi yang mengkhawatirkan. 

Di tahun 2024, fenomena ini berlanjut dengan pencabutan izin usaha dari lima BPR, termasuk Perumda BPR Bank Purworejo, yang menjadi sorotan terbaru.

Kejadian ini menambah daftar panjang bank yang kehilangan izin operasional tahun ini, termasuk PT BPR Bank Pasar Bhakti dan PT BPR Usaha Madani Karya Mulia di Jawa Tengah, serta Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Mojo Artho di Mojokerto dan Koperasi BPR Wijaya Kusuma, yang juga mengalami nasib serupa karena masalah pengelolaan dan tata kelola. 

Dengan demikian, dalam dua bulan pertama saja, sudah ada lima bank yang ditutup oleh OJK, menambah statistik kebangkrutan bank di Indonesia yang sejak tahun 2005 telah mencapai angka 127.

Tindakan OJK mencabut izin usaha bank-bank tersebut berdasarkan evaluasi ketat terhadap kondisi keuangan dan operasional mereka. Langkah ini diikuti dengan penempatan bank dalam status pengawasan khusus, yang mencakup status penyehatan dan resolusi. 

Penyebab Banyaknya BPR yang Pailit

Dalam perkembangan terkini sektor perbankan di Indonesia, OJK telah mengungkapkan penyebab utama mengapa terjadi penurunan jumlah BPR di negeri ini. 

Melalui suara Kepala Eksekutif Pengawasan Perbankan, Dian Ediana Rae, diungkapkan bahwa OJK mempunyai visi strategis untuk merampingkan jumlah BPR. Langkah ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK), yang memberikan mandat dan wewenang baru bagi BPR.

Penyusutan drastis jumlah BPR, menurut Dian, bukan hanya sekedar mencapai target OJK atau sebagai implementasi dari UU PPSK.

Ada tiga faktor utama yang menyebabkan kondisi ini, yang diungkapkan dalam Konferensi Pers Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan 2024, yang disiarkan langsung melalui kanal YouTube resmi OJK pada tanggal 20 Februari.

Faktor pertama berkaitan dengan kepemilikan BPR yang tidak lagi dapat dimonopoli oleh satu pihak. Dian menekankan perlunya konsolidasi bagi BPR yang dimiliki oleh individu yang sama. 

Melalui penerapan kebijakan single presence, diharapkan setiap individu hanya boleh memiliki satu BPR. Jika sebelumnya seseorang memiliki lebih dari satu BPR, maka lembaga-lembaga tersebut harus digabung, dengan yang lain menjadi cabang.

Kedua, Dian menyoroti ketentuan mengenai modal minimum yang harus dipenuhi oleh BPR, yaitu sebesar Rp6 miliar. BPR yang belum memenuhi ketentuan ini didorong untuk melakukan penggabungan atau merger. Ini merupakan upaya OJK untuk memastikan keberlanjutan operasional BPR, terutama jika kendala yang dihadapi bersifat struktural.

Faktor ketiga yang disoroti adalah kasus penipuan atau fraud yang menjadi penyebab banyak BPR harus ditutup. Keberadaan BPR dengan masalah fundamental, terutama yang berkaitan dengan penipuan, dianggap mengganggu integritas dan kepercayaan masyarakat terhadap industri BPR. 

Meski secara keseluruhan BPR memiliki kinerja yang baik dan terus berkembang, serta mampu melayani UMKM dan masyarakat kecil, citra positif ini tercoreng oleh keberadaan BPR bermasalah.

Dian mengungkapkan bahwa jumlah BPR yang awalnya mencapai 1.600 kini terus berkurang. Meskipun demikian, upaya untuk menjaga kinerja sehat bank-bank ini tetap menjadi prioritas. 

Dalam rangka menuntaskan masalah yang ada, OJK berkomitmen untuk segera menyelesaikan persoalan BPR bermasalah, bahkan mungkin dalam tahun 2024 ini, demi kepentingan jangka panjang sektor perbankan.

Penyehatan BPR yang dilakukan oleh OJK dimaksudkan untuk memastikan bahwa BPR dapat terus menjadi lembaga keuangan yang dapat diandalkan oleh masyarakat kecil di seluruh Indonesia. 

Dengan upaya sistematis ini, diharapkan masyarakat dapat bertransaksi dengan BPR dengan penuh kepercayaan, tanpa khawatir akan risiko penipuan atau penggelapan dana.

“Tahun ini akan kita bereskan (masalah BPR). Mungkin akan ada peningkatan BPR yang ditutup kalau seandainya tidak bisa diselamatkan," ungkapnya dalam konferensi pers PTIJK, dikutip Jumat, 23 Februari 2024.

Masa Depan BPR: Antara Tantangan dan Peluang

Meskipun penutupan BPR menimbulkan kekhawatiran di masyarakat, OJK dan LPS menjamin bahwa dana masyarakat di perbankan, termasuk di BPR, tetap aman. 

Langkah penyehatan yang diambil diharapkan tidak hanya memulihkan kepercayaan publik tetapi juga membangun fondasi yang lebih kuat bagi BPR untuk tumbuh dan berkontribusi terhadap ekonomi nasional.

Ke depan, tantangan bagi BPR adalah bagaimana mengadaptasi diri dengan regulasi baru sambil mempertahankan keunggulan kompetitifnya dalam melayani UMKM dan masyarakat kecil. 

OJK berperan vital dalam memfasilitasi transisi ini, dengan menyediakan bimbingan regulasi dan mendukung inovasi di sektor BPR.

Dalam rangka menjaga keamanan para investor dan memastikan BPR siap menghadapi tantangan baru, OJK kini mengarahkan fokusnya pada peningkatan kualitas tata kelola, pengembangan sumber daya manusia, dan aspek penting lainnya. 

Dian mengungkapkan optimisme terhadap sektor BPR, dengan menyoroti kinerja positif dan pertumbuhan yang terus terjadi, khususnya dalam melayani kebutuhan masyarakat UMKM. Ditambah lagi, kini OJK sudah memperbolehkan BPR untuk mendulang modal dengan cara melantai di bursa. 

Penutupan BPR dilihat sebagai langkah yang mungkin memberikan dampak positif dalam jangka panjang, mengingat pentingnya menyelesaikan masalah fundamental secara cepat dan efektif.

Kesimpulan: Menuju Sektor Perbankan yang Lebih Sehat dan Stabil

Melalui pendekatan yang terstruktur dan bertahap, mulai dari konsolidasi hingga pengawasan yang lebih ketat, diharapkan krisis di sektor BPR dapat diatasi.

Di tengah tantangan ini, ada peluang untuk BPR tidak hanya sebagai lembaga keuangan yang melayani sektor-sektor ekonomi mikro dan kecil tetapi juga sebagai entitas yang adaptif dan inovatif, mampu menavigasi perubahan regulasi dan ekspektasi pasar. 

OJK, dengan dukungan dari kebijakan dan regulasi yang progresif, berada di garis depan upaya ini, menunjukkan jalan bagi BPR untuk bertransformasi menjadi pilar keuangan yang lebih tangguh dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

Transformasi sektor BPR di Indonesia, walaupun dipenuhi dengan tantangan, membawa harapan baru bagi pemulihan dan pertumbuhan ekonomi. 

Dengan langkah-langkah yang tepat, dukungan regulasi yang kuat, dan komitmen untuk tata kelola yang baik, sektor BPR diharapkan dapat melewati masa kritis ini dan berkontribusi lebih signifikan terhadap inklusi keuangan dan pembangunan ekonomi Indonesia.