<p>Pemilik toko yang juga Anggota APVI, Rhomedal (kanan) memasang stiker himbauan di toko Vapepackers, Jakarta, Rabu, 9 September 2020. Kegiatan ini merupakan sosialisasi mengenai bahaya penyalahgunaan narkoba pada produk tembakau alternatif atau rokok elektrik melalui gerakan sosial bertajuk “Gerakan Pencegahan Penyalahgunaan Rokok Elektrik (GEPPREK)” yang juga telah dilakukan di Denpasar, Bali, dan Bandung, Jawa Barat. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Nasional & Dunia

LIPI Dianggap Kredibel Teliti Produk Alternatif Rokok

  • JAKARTA – Untuk menengahi pro dan kontra terkait klaim hasil penelitian hasil produk tembakau lainnya (HPTL) di Indonesia, pemerintah dinilai bisa mengoptimalkan peran Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai instansi penelitian yang netral. Hal itu karena LIPI merupakan lembaga penelitian yang kredibel serta sangat terbuka dengan berbagai kolaborasi penelitian. Sehingga pemerintah tidak perlu membentuk lembaga […]

Nasional & Dunia
Ananda Astri Dianka

Ananda Astri Dianka

Author

JAKARTA – Untuk menengahi pro dan kontra terkait klaim hasil penelitian hasil produk tembakau lainnya (HPTL) di Indonesia, pemerintah dinilai bisa mengoptimalkan peran Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai instansi penelitian yang netral.

Hal itu karena LIPI merupakan lembaga penelitian yang kredibel serta sangat terbuka dengan berbagai kolaborasi penelitian. Sehingga pemerintah tidak perlu membentuk lembaga baru untuk meneliti risiko HPTL.

“LIPI adalah institusi independen dan saya yakin penelitinya sangat mumpuni,” kata Peneliti Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP), Amaliya dalam diskusi secara virtual, Selasa, 20 Oktober 2020.

Independensi dalam penelitian HPTL dianggap mutlak karena hasil dari risetnya akan sangat berpengaruh pada banyak pihak termasuk industri hasil tembakau (IHT).

Dengan potensi intervensi yang tinggi, pemerintah perlu untuk menunjuk lembaga yang mampu mempertahankan prinsi-prinsip keilmiahan dalam penelitiannya.

“Melihat keterkaitannya yang tinggi dengan industri dan ekonomi, maka jangan sampai terpengaruh oleh pihak-pihak lain,” ujar Amaliya.

Dalam lain kesempatan, Mantan Direktur Riset Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Visiting Professor di Lee Kuan Yew School of Public Policy National University of Singapore, Tikki Pangestu juga sepakat perlunya penelitian yang meluruskan informasi terkait risiko HPTL di masyarakat.

Bias Informasi Produk HPTL

Sebagaimana diketahui, kemunculan produk HPTL diiringi dua perspektif yang saling bertolak belakang antara yang mendukung dengan yang tidak. Hal ini membuat paradigma masyarakat menjadi bias karena memang belum adanya riset dari pemerintah yang membuktikan secara ilmiah.

 “Kita harus betul-betul mengadakan suatu pertemuan. Salah satu cara adalah menunjuk satu organisasi independen dan mencari bukti ilmiahnya untuk mencari keseimbangan dari faktor-faktor kesehatan,” kata Tikki Pangestu dalam keterangan persnya.

Ia juga mengatakan angka perokok di Indonesia saat ini mencapai 65 juta orang. Jumlah ini membuat WHO menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat konsumsi rokok tertinggi ketiga di dunia setelah China dan India.

Dengan data tersebut, pemerintah sudah selayaknya mengambil tindakan tegas dengan mengadakan riset lokal yang memang disesuaikan dengan kondisi di Indonesia.

Hal ini penting mengingat karakteristik perokok, industri rokok, dan budaya merokok di Indonesia berbeda dengan negara lain. Sehingga tidak tepat jika hanya mengandalkan riset dari luar.

“Kita juga harus adil pada perokok yang mau berhenti, ini kan HAM jadi ada keseimbangan antara risiko dengan membantu mereka yang mau berhenti merokok. Di Indonesia kekurangan riset lokal yang membuktikan,” tegas Tikki. (SKO)