Listrik Tenaga Nuklir dan Batu Bara Bikin Realisasi EBT Tak Capai Target
- Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi IESR menuturkan Indonesia akan terbeban dengan biaya penerapan CCS pada PLTU yang mahal, biaya operasional yang rentan volatilitas serta tidak berkelanjutan
Energi
JAKARTA - Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai pengoperasian pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) berkapasitas 250 MW di 2032 dan penggunaan CCS/CCUS pada PLTU yang masih beroperasi pada 2060 ini belum didasarkan pada kelayakan teknis dan ekonomis di Indonesia sampai saat ini.
PLTN dengan kapasitas kecil dari 300 MWe, small modular reactor, masih belum tersedia teknologi yang terbukti aman dan ekonomis. Indonesia sendiri masih harus membangun infrastruktur institusi (NEPIO), kesiapan regulator, standar keamanan, serta ketersediaan teknologi SMR yang sudah teruji, serta persetujuan masyarakat, sebelum mulai membangun PLTN.
Adapun aplikasi CCS/CCUS pada PLTU hingga saat ini masih menjadi solusi mahal dan tidak efektif untuk menangkap karbon, walaupun teknologi ini sudah dikembangkan puluhan tahun. Contoh proyek CCS di Boundary Dam Kanada dan juga di PLTU Petranova di US menunjukan masalah teknis untuk memenuhi target penangkapan karbonnya dan keekonomiannya tidak layak.
Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi IESR menuturkan Indonesia akan terbeban dengan biaya penerapan CCS pada PLTU yang mahal, biaya operasional yang rentan volatilitas serta tidak berkelanjutan. Sedangkan pembangunan PLTN menjadi antiklimaks di tengah menurunnya kapasitas PLTN dunia setelah tragedi nuklir di Fukushima.
Pada dekade ini, kata Dion, seharusnya strategi mitigasi emisi GRK Indonesia pada sektor energi dapat difokuskan pada pembangunan teknologi energi terbarukan dan energy storage yang sudah terbukti dapat menyediakan energi dengan biaya kompetitif dengan PLTU batubara yang masih dapat subsidi.
Baca Juga: Target Bauran Energi Turun, Pengamat: Komitmen Lemah dan Sarat Kepentingan
"PLTS (energi surya) dan PLTB (energi angin) secara waktu konstruksi dapat dilakukan dengan cepat, sehingga pekerjaan rumah yang perlu diperbaiki adalah bagaimana menyiapkan pipeline proyek-proyek yang siap untuk diinvestasikan serta proses pengadaan di PLN,” jelas Deon dikutip dari keterangan resmi, Kamis 1 Februari 2024.
Sebagai informasi, DEN tengah menggodok pemutakhiran Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional dengan rancangan kebijakan baru (RPP KEN) yang tengah dibahas dengan DPR.
DEN menjadwalkan RPP KEN akan rampung pada Juni 2024. Target energi baru terbarukan (EBT) yang terangkum pada RPP KEN dibuat berdasarkan asumsi tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 4-5% menyesuaikan Pasca-COVID dan menyetarakan energi nuklir sebagai energi terbarukan.
Hasilnya, RPP KEN menetapkan target bauran EBT di 2025 turun dari sebelumnya 23% menjadi 17-19%. Sementara, target EBT di 2050 meningkat dari 30% menjadi 58-61% dan di 70-72% pada 2060.