<p>Gedung Adaro Energy. / Adaro.com</p>
Industri

Laba Adaro Energy Capai US$155,1 Juta

  • PT Adaro Energy Tbk mencatatkan penurunan laba bersih hingga 47,63% pada semester pertama tahun 2020.

Industri
Drean Muhyil Ihsan

Drean Muhyil Ihsan

Author

JAKARTA –  PT Adaro Energy Tbk (ADRO) mencatatkan penurunan laba bersih hingga 47,63% pada semester pertama tahun 2020. Di paruh pertama tahun ini, perseroan hanya mampu meraup keuntungan sebesar US$155,1 juta. Padahal, pada periode yang sama di tahun 2019, ADRO berhasil membukukan laba bersih hingga US$296,85 juta.

Presiden Direktur dan CEO ADRO, Garibaldi Thohir mengatakan perlambatan ekonomi global serta penurunan aktivitas industri memberi tekanan yang besar terhadap permintaan maupun harga batu bara. Meski pun begitu, ia mengaku telah melakukan upaya maksimal demi mempertahankan kinerja dan likuiditas di tengah pandemi COVID-19.

“Kami tetap memaksimalkan upaya untuk terus berfokus pada keunggulan operasional bisnis inti perusahaan. Selain itu meningkatkan efisiensi dan produktifitas operasi, menjaga kas. Tentunya juga mempertahankan posisi keuangan yang solid di tengah situasi sulit yang berdampak terhadap sebagian besar dunia usaha,” kata pria yang akrab disapa Boy Thohir ini melalui keterangan resminya di Jakarta, Jumat 28 Agustus 2020.

Pendapatan usaha bersih perseroan juga anjlok mencapai 23% secara tahunan menjadi US$1,36 miliar dari US$1,77 miliar. Hal ini diakibatkan oleh penurunan harga jual rata-rata (ASP) sebesar 18% serta penurunan volume penjualan.

Penerapan Lockdown Bikin Rugi

Penerapan lockdown di banyak negara pengimpor batu bara juga mengakibatkan penurunan terhadap permintaan listrik industri. Di periode ini, volume produksi batu bara Adaro hanya 27,29 juta ton, atau turun 4% year-on-year (yoy). Perseroan juga telah merevisi panduan produksinya untuk tahun ini menjadi 52-54 juta ton.

Nilai aset ADRO juga mengalami penyusutan sebesar 7% dari US$7,16 miliar menjadi US$6,64 miliar. Hal ini diikuti merosotnya beban usaha hingga 14% menjadi US$98 juta, terutama karena penurunan beban penjualan dan pemasaran serta penurunan biaya profesional.

Di sisi lain, EBITDA operasional di semester ini mencapai US$465 juta, atau turun 33% yoy akibat penurunan ASP. Sementara itu, marjin EBITDA operasional tercatat positif 34,2% akibat adanya efisiensi operasi dan pengendalian biaya yang dilaksanakan perseroan.

Selain itu, perusahaan juga telah merevisi panduan EBITDA operasional untuk tahun ini menjadi US$600 juta – US$800 juta. Langkah itu dilakukan sebagai cermin adanya penurunan estimasi harga jual rata-rata karena melemahnya harga batu bara global.

“Walaupun masih harus menghadapi tantangan ini untuk beberapa saat ke depan, kami tetap yakin bahwa fundamental sektor batu bara dan energi di jangka panjang tetap kokoh, terutama karena dukungan aktivitas pembangunan di negara-negara Asia,” tutup kakak Menteri BUMN ini.