Ilustrasi belanja online di start up e-commerce seperti Tokopedia, Bukalapak, Shopee, Blibli, dan marketplace lain. Ilustrator: Deva Satria/TrenAsia
Korporasi

Lomba Balap Super App: Blibli, Tokopedia, dan Bukalapak

  • Platfom e-commerce PT Global Digital Niaga Tbk (BELI) alias Blibli.com resmi menjadi perusahaan ke-47 yang melantai di bursa saham pada 8 November 2022

Korporasi

Ananda Astri Dianka

JAKARTA – Platfom e-commerce PT Global Digital Niaga Tbk (BELI) alias Blibli.com resmi menjadi perusahaan ke-47 yang melakukan penawaran saham perdana (initial public offering/ IPO) pada 8 November 2022.

Emiten milik orang kaya nomor 1 dan 2 Indonesia, Michael Bambang Hartono dan Robert Budi Hartono ini membandrol harga penawaran senilai Rp450 per lembar dengan jumlah saham yang dicatatkan sebanyak 118,47 miliar lembar saham. 

Lewat aksi ini, Blibli berhasil meraih dana segar mencapai Rp8 triliun. Sehingga kapitalisasi pasarnya melejit jadi Rp53,31 triliun.

Praktis, hal ini menjadikan Blibli sebagai internet-unicorn terbesar kedua di Asia Pasifik yang melakukan IPO tahun ini. Di dalam negeri, pencatatan perdana BELI merupakan IPO terbesar kedua sepanjang 2022 dan terbesar kelima sepanjang sejarah. 

Tercatat, perolehan dana IPO terbesar di Indonesia dicatatkan oleh PT Bukalapak.com Tbk (BUKA) senilai Rp21,9 triliun, PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (MTEL) atau Mitratel Rp18,79 triliun, PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) Rp13,7 triliun, dan PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO) Rp12,25 triliun.

Mengikuti jejak Bukalapak dan GoTo, IPO Blibli tak kalah seksi untuk menarik minat berbagai investor domestik dan internasional. Mulai dari sovereign wealth funds, long-only funds, multi-strategy funds, private wealth management, dan lainnya.

Tingginya antusiasme terbukti lewat tingkat kelebihan permintaan (oversubscription) yang mencapai 4,4 kali lipat pada penjatahan terpusat (pooling portion). Hal tersebut berimbas pada peningkatan jumlah alokasi penjatahan terpusat dari 2,5% menjadi 5% dari total jumlah penawaran.

IPO Saat Masih Merugi

Persamaan lain antara IPO Blibli, Bukalapak, dan GoTo adalah kondisi keuangan yang masih mencatat rugi saat penawaran perdana. Berdasarkan prospektus, neraca keuangan Blibli masih rugi Rp2,5 triliun pada periode tahun berjalan pada Juni 2022. Kerugian Blibli juga membengkak jika dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu, yakni Rp1,57 triliun.

Dari sisi pendapatan, Blibli membukukan Rp6,7 triliun pada periode Juni 2022 atau naik 123% dibandingkan periode yang sama dari tahun lalu, Rp2,9 triliun.

Setali tiga uang, dulu GoTo juga mencatatkan nilai rugi bersih sebesar Rp11,58 triliun per September 2021. Kerugian GoTo naik dari periode yang sama pada 2020 sebesar Rp10,43 triliun. 

Sementara Bukalapak, membukukan rugi tahun berjalan yang dapat diatribusikan ke pemilik entitas induk sejumlah Rp1,35 triliun. Angka kerugian kala itu turun dari 51,73% dari rugi bersih pada 2019 senilai Rp2,79 triliun. 

Super App

Manuver Blibli untuk melantai di pasar modal terlebih dahulu dimulai dari sejumlah aksi untuk membentuk ekosistem bisnis. Sebagaimana diketahui, Blibli telah melakukan merger dengan Tiket.com dan PT Supra Boga Lestari Tbk (RANC) alias Ranch Market untuk membentuk entitas baru bernama Blibli Tiket.

Jika melihat polanya, aksi yang dilakukan oleh Blibli kurang lebih serupa dengan Tokopedia dan Bukalapak. Ketiganya gencar mengembangkan bisnis e-commercenya dan pada akhirnya menuju apa yang disebut super app.

Para raksasa teknologi ini berlomba untuk menghadirkan ekosistem yang di dalamnya memuat beragam layanan yang saling terintegrasi hanya dalam satu aplikasi. Penyediaan layanan tersebut bisa disediakan oleh perusahaan maupun menggandeng perusahaan lain. Mengapa super app menjadi penting?

Kehadiran super app dinilai lebih memudahkan bagi pengguna daripada aplikasi individual. Super app menyediakan platform yang memungkinkan beberapa layanan dalam satu pintu, sedangkan aplikasi yang berdiri sendiri hanya punya satu layanan dalam bidang tertentu.

Selain itu, super app hadir sebagai solusi dari kebutuhan layanan keuangan yang tidak terpenuhi, utamanya di negara berkembang. Maka tak heran, model bisnis super app lebih berhasil di Asia ketimbang Amerika Serikat atau Eropa.

Sebab,  super app mengakomodasi layanan keuangan untuk pengguna yang tidak memiliki rekening bank. 

Pada super app, terutama dompet elektronik, memungkinkan konsumen berbelanja di seluruh ekosistem dan mengurangi ketergantungan bank, karena ketersediaan dan integrasi yang mudah melalui API pembayaran.