Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan
Nasional

Luhut Ancam Impor Hakim dan Polemik Banding Arbitrase Indonesia

  • Arbitrase internasional umumnya tidak memungkinkan adanya proses banding terhadap putusan yang dikeluarkan oleh arbiter. Salah satu prinsip utama dari arbitrase adalah putusannya bersifat final dan mengikat, artinya keputusan yang diambil oleh arbiter harus diterima dan dilaksanakan oleh semua pihak tanpa adanya opsi untuk mengajukan banding.

Nasional

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA - Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI Arbitration Center) merupakan lembaga independen yang menyediakan layanan arbitrase, mediasi, dan penyelesaian sengketa di luar pengadilan. 

Didirikan pada tahun 1977 oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN), BANI dikelola oleh Dewan Pengurus dan diawasi oleh Dewan Pengawas serta Dewan Penasehat yang terdiri dari tokoh masyarakat dan bisnis.

Sebagai lembaga arbitrase pertama dan utama di Indonesia, BANI memiliki lebih dari 160 arbiter profesional dari berbagai latar belakang. Berkantor pusat di Jakarta, BANI juga memiliki cabang di kota-kota besar seperti Surabaya, Bandung, Medan, Denpasar, Palembang, Pontianak, dan Jambi.

BANI telah mengembangkan peraturan dan prosedur untuk arbitrase domestik dan internasional, termasuk arbitrase elektronik dan hybrid. Minat terhadap penyelesaian sengketa melalui arbitrase meningkat setelah diberlakukannya UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Arbitrase dipilih karena sifatnya yang cepat, efisien, dan putusannya yang final serta mengikat. Prosesnya juga bersifat rahasia dan biayanya lebih terukur. Selain itu, putusan arbitrase asing dapat dilaksanakan di Indonesia berdasarkan Konvensi New York 1958.

Adanya BANI bertujuan untuk mendukung penegakan hukum yang otonom dan independen di Indonesia, menyediakan layanan penyelesaian sengketa melalui berbagai metode, serta mengadakan penelitian dan pelatihan tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.

Putusan Arbitrase Tak Bisa Banding

Arbitrase internasional umumnya tidak memungkinkan adanya proses banding terhadap putusan yang dikeluarkan oleh arbiter. Salah satu prinsip utama dari arbitrase adalah putusannya bersifat final dan mengikat, artinya keputusan yang diambil oleh arbiter harus diterima dan dilaksanakan oleh semua pihak tanpa adanya opsi untuk mengajukan banding. 

Prinsip ini dirancang untuk menyediakan penyelesaian sengketa yang cepat dan efisien, menghindari proses peradilan yang panjang dan rumit.

Namun, meskipun putusan arbitrase tidak dapat diajukan banding, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia mengatur adanya kemungkinan untuk membatalkan putusan arbitrase melalui pengadilan negeri. 

Permohonan pembatalan dapat diajukan dalam beberapa kondisi spesifik, seperti jika ada bukti bahwa dokumen atau surat yang diajukan dalam proses arbitrase ternyata palsu setelah putusan dijatuhkan, atau jika ditemukan bahwa salah satu pihak telah menyembunyikan dokumen penting yang mempengaruhi keputusan. Selain itu, jika terbukti bahwa putusan dihasilkan dari tipu muslihat, permohonan untuk pembatalan juga dapat diajukan.

Permohonan untuk pembatalan putusan arbitrase harus dilakukan dalam waktu 30 hari setelah putusan disampaikan kepada para pihak yang bersengketa. Pengadilan negeri kemudian akan menilai apakah ada alasan yang sah untuk membatalkan putusan tersebut. 

Meskipun arbitrase tidak memungkinkan banding, mekanisme pembatalan memberikan cara terbatas untuk menantang putusan yang dianggap tidak sesuai dengan prinsip keadilan atau hukum yang berlaku.

Kontroversi

Dalam Sidang Uji Materi UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Perkara yang diselenggarakan Mahkamah Konstitusi, tanggal 30 April 2024, Pasal 70 Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU AAPS) menjadi sorotan setelah beberapa ahli hukum menilai pasal tersebut berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. 

Salah satu ahli hukum terkemuka, Satya Arinanto, menyatakan pasal ini dan penjelasannya dalam UU No. 30 Tahun 1999 memiliki potensi untuk menciptakan ketidakpastian hukum.

Salah satu kasus pembatalan putusan arbitrase terjadi di Pengadilan Negeri Bandung, di mana pemohon menggunakan haknya untuk mengajukan pembatalan. Gugatan pemohon dikabulkan oleh pengadilan, namun pihak termohon mengajukan banding ke Mahkamah Agung.

Kontroversi ini menyoroti perlunya kejelasan dan kepastian hukum dalam prosedur pembatalan putusan arbitrase, serta penyesuaian peraturan yang sejalan dengan konstitusi untuk memastikan keadilan bagi semua pihak yang terlibat.

Disinggung Luhut Lagi

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, menyatakan ketidakpastian hukum menjadi masalah utama dalam menarik investasi asing ke Indonesia. Untuk mengatasi hal ini, ia menyarankan penerapan opsi arbitrase internasional tanpa banding sebagai solusi.

Menurut Luhut, pengadilan arbitrase di Indonesia yang masih memungkinkan adanya proses banding menciptakan ketidakpastian hukum bagi investor.

Ia mengusulkan Indonesia meniru model Abu Dhabi, di mana keputusan arbitrase tidak dapat diajukan banding, untuk memberikan kepastian hukum yang lebih baik bagi investor.

Luhut juga menyarankan agar pihak yang bersengketa dalam skema family office di Indonesia dapat mengundang hakim internasional dari negara-negara seperti Singapura, Abu Dhabi, atau Hong Kong untuk menangani arbitrase. 

"Anda dapat mengundang hakim internasional seperti dari Singapura atau dari Abu Dhabi atau Hong Kong, begitu mereka memutuskan tidak ada lagi banding, maka selesailah. Saya pikir ini membawa kepastian, ini adalah kepastian hukum di negara ini," papar Luhut dalam acara The 2nd International and Indonesia Carbon Capture and Storage (IICCS) Forum 2024, di Jakarta.