Luhut: Pensiun Dini PLTU Batu Bara Butuh Duit Rp120 Triliun
- Pemerintah membutuhkan dana sebesar US$8,58 miliar setara Rp120 triliun untuk bisa menghentikan seluruh aktivitas pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.
Industri
JAKARTA -- Pemerintah membutuhkan dana besar untuk bisa menghentikan seluruh aktivitas pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara yang sejauh ini merupakan sumber utama pasokan listrik nasional.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan kebutuhan dana untuk mengalihkan investasi ke sektor energi terbarukan (EBT) mencapai US$8,58 miliar setara Rp120 triliun.
Dana tersebut digunakan untuk menutup sekitar 5,5 gigawatt (GW) PLTU yang akan dilakukan setidaknya sebelum tahun 2030.
"Rencana pensiun dini untuk pembangkit listrik tenaga batu bara dan mengkonvesi menjadi pembangkit EBT akan dimungkinkan dengan dukungan investasi," katanya secara virtual dalam Mandiri Investment Forum 2022, Rabu, 9 Februari 2022.
- Dirut Aviata Ungkap Strategi Pemulihan Sektor Pariwisata pada 2023
- Dukung Transisi Energi, PLN Targetkan Pembangkit EBT 648 MW Beroperasi Tahun Ini
- Anak Usaha Bumi Resources Minerals (BRMS) Sukses Temukan Cadangan Bijih Emas 4,6 Juta Ton
Dia menegaskan komitmen pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam merespons isu perubahan iklim dengan fokus pada upaya mengurangi karbon sebagaimana telah menjadi isu utama dalam pembahasan pemimpin negara di COP26 Glasgow.
Pemerintah saat ini sedang merumuskan kebijakan pajak karbon untuk mengekang peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) dan mengubah perilaku ekonomi. Pajak karbon rencananya akan diterapkan pada April 2022.
"Pajak karbon akan dikenakan pada pembangkit listrik tenaga batu bara mulai April 2022 dengan mekanisme cap and trade dan cap and tax. Sehingga, pajak hanya dikenakan pada emisi di atas cap masing-masing sektor," terang Luhut.
Luhut tidak menampik fakta bahwa pada beberapa tahun ke depan, sumber energi Indonesia masih didominasi oleh batu bara, kemudian disusul oleh minyak dan gas.
Menurut skenario yang dirancang pemerintah, komposisi pasokan energi Indonesia pada tahun 2030 adalah seperti berikut: batu bara 51%, minyak bumi 22,2%, gas bumi 20,4% dan sisanya 6,1% EBT. Pangsa energi terbarukan akan didominasi oleh matahari dan air.
Adapun, potensi energi terbarukan sangat melimpah. Total potensi energi baru dan terbarukan mencapai 472,6 GW, yang terdiri dari berbagai sumber seperti matahari, air, angin, geothermal, dan panas laut.
Luhut bilang, saat ini pemerintah tengah merancang peta jalan menuju emisi nol bersih di sektor energi mulai dari periode 2021 hingga 2025. Ditargetkan pada tahun 2060 atau lebih cepat dan dengan bantuan internasional, Indonesia bisa mencapai emisi nol bersih.
"Pemerintah akan mengeluarkan sejumlah peraturan termasuk undang-undang tentang energi baru terbarukan dan melakukan pensiun dini pada pembangkit listrik berbahan baku batu bara," tukasnya.
Tidak berhenti di situ, lanjut dia, pemerintah juga akan melakukan penelitian untuk nikel, bauksit, tembaga, dan timah dalam rangka mengembangkan energi bersih.
Pemerintah terus mendorong industri hilir minerba agar tidak terus bergantung pada ekspor bahan baku. Pembangunan sejumlah pabrik pengolahan nikel diharapkan bisa memproduksi stainless steel yang bisa menjadi bahan baku pembuatan kendaraan listrik di bawah konsorsium Indonesia Batteray Corporation (IBC).
"Indonesia berencana mengimplementasikan target produksi mobil listrik sebanyak 2 juta unit pada tahun 2030," papar Luhut.
Selain itu, pemerintah juga akan terus membangun basis industri material bernilai tambah tinggi untuk mendukung digitalisasi ekonomi yang semakin pesat dan tren ekonomi hijau. Salah satu fokus saat ini adalah pembangunan kawasan Industrial Park di Kalimantan Utara (Kaltara).
"Banyak investor yang tertarik karena komoditas yang tersedia, luas lahan dan sungai yang berpotensi menjadi pembangkit listrik tenaga air. Dengan menggunakan energi listrik dari air, produk yang dihasilkan akan mengeluarkan emisi karbon yang rendah," jelas Luhut.
Dia pun mengundang investor global untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi hijau di Tanah Air. Potensi EBT yang begitu besar diharapan bisa memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi dan terbukanya lapangan pekerjaan.
"Pemerintah juga memastikan akan terus menyiapkan skema insentif yang menarik untuk mendorong penanaman modal bagi investor, baik bagi investor dalam negeri maupun investor asing," ungkapnya.
Perhatikan Isu ESG
Managing Director and Global Head of ESG Jeffries, Aniket Shah, mengatakan dari penelitian yang dilakukan selama bertahun-tahun ditemukan bahwa investor Barat sudah sadar betul akan pentingnya investasi berkelanjutan berbasis Enviroment, Social and Governance (ESG).
Dia menyebut bahwa investor Barat tidak hanya mengatakan bahwa mereka akan mengintegrasikan pertimbangan lingkungan dan sosial ke dalam pengambilan keputusan investasinya, tetapi mereka juga benar-benar melakukan penyelarasan portofolionya secara khusus dengan numerik, target dan metrik untuk masa yang akan datang.
"Itu menggambarkan bahwa mereka ingin menyelaraskan investasi mereka dengan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola," katanya dalam acara MIF 2022.
- Pakai KAI Access Sudah Bisa Pesan Tiket Bus DAMRI, Cek Rutenya
- Sudah Kantongi SLO, Tol Binjai-Stabat Siap Beroperasi
- Wijaya Karya (WIKA) Perbarui Direksi, Angkat Adityo Kusumo Jadi Direktur
Untuk itu, dia menyarankan kepada pemerintah Indonesia untuk bisa membuat kebijakan berbasis ESG agar bisa menarik minat investor asing untuk membenamkan uangnya di Indonesia. Jika tidak, maka sulit bagi Indonesia untuk mendapatkan bantuan internasional dalam membiayai upaya menuju transisi energi terbarukan.
"Saya ingin memperjelas bahwa ini adalah sesuatu yang investor inginkan dan ini berpotensi membuat pasar negara berkembang menjadi kelaparan dari modal internasional," pungkasnya.
Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia belum lama ini mengatakan selama ini memang investor asing dari AS dan negara-negara Barat lainnya sangat sedikit membenamkan uangnya di NKRI.
Hal itu terlihat dari realisasi investasi pada tahun 2021 lalu yang masih didominasi oleh negara-negara Asia. Singapura, misalnya, realisasi investasinya mencapai US$9,4 miliar (30,2%), kemudian diikuti Hongkong sebesar US$4,6 miliar 14,8%), China sebesar US$3,2 miliar (10,2%), AS sebesar US$2,5 miliar (8,2%) dan Jepang US$2,3 miliar (7,3%).
Bahlil mengatakan bahwa dalam beberapa tahun terakhir Singapura selalu mendominasi negara lain dalam berinvestasi di Indonesia.
Namun sebetulnya, dia menduga bahwa investor dari Singapura tersebut bisa saja merupakan orang Indonesia tetapi mengatasnamakan Singapura. Pasalnya, Singapura menjadi pusat atau tempat transit perputaran uang para investor global.
"Singapura ini hub untuk beberapa negara untuk masuk ke Indonesia," tukas Bahlil.
Adapun, realisasi investasi pada tahun 2021 mencapai Rp901,02 triliun, atau mencapai 100,1% dari target Kementerian Investasi/BKPM sebesar Rp900 triliun. Realisasi ini tumbuh 9% yoy dan menyerap tenaga kerja sebanyak 1,2 juta orang.