DPRD Kabupaten Kediri bersama elemen masyarakat menolak pemindahan makam Tan Malaka ke Sumatera Barat. Foto diambil 21 Januari 2017.
Nasional

Makam Tan Malaka dan Perjuangan Mencari Pengakuan Negara

  • Selain urusan adat, wacana pemindahan makam sebenarnya menjadi cara menarik perhatian pemerintah terhadap peran Tan Malaka dalam kemerdekaan.
Nasional
Chrisna Chanis Cara

Chrisna Chanis Cara

Author

JAKARTA—Kabar hilangnya bendera Merah Putih di pusara Tan Malaka tengah menjadi perbincangan. Penyematan bendera Indonesia itu sendiri merupakan simbol bahwa Tan Malaka telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. 

Raibnya bendera Merah Putih di makam Tan Malaka yang berada di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, awalnya diketahui Ketua Dewan Kesenian dan Kebudayaan Kabupaten Kediri (DKPP), Imam Mubarok.

Merujuk sejarah, keberadaan makam Tan Malaka di Kabupaten Kediri tak lepas dari temuan sejarawan Belanda, Harry A. Poeze, tahun 2007. Berpuluh-puluh tahun sebelumnya tak ada yang mengetahui pasti kuburan pahlawan Nasional yang dieksekusi mati tanggal 21 Februari 1949 tersebut. 

Poeze dalam penelitiannya menemukan bahwa Tan Malaka dan kelompoknya ditembak mati di kaki Gunung Wilis, Selopanggung, Kabupaten Kediri, setelah sempat ditahan. Pembunuhan tersebut merupakan perintah langsung Letnan Dua Sukotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya. Tan Malaka disebut dimakamkan di hutan di kawasan setempat. 

Pada tahun 2009, tim forensik yang didukung keluarga Tan Malaka selesai menggali kuburan yang diduga berisi jenazah Tan Malaka di pemakaman umum di Selopanggung, Kabupaten Kediri. Penggalian itu didasari penelitian Poeze selama bertahun tahun terhadap tokoh gerakan kiri asal Sumatera Barat tersebut. 

Pemindahan Makam

Sekitar tahun 2017, sempat muncul wacana pemindahan makam Tan Malaka ke Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, yang merupakan tanah kelahirannya. Gagasan tersebut disampaikan keluarga besar Tan Malaka dan kelompok yang tergabung dalam Tan Malaka Institute. Selain urusan adat, wacana itu sebenarnya menjadi cara menarik perhatian pemerintah terhadap peran Tan Malaka dalam kemerdekaan. 

Sebagai tokoh besar dunia, Tan Malaka seperti hilang ditelan zaman dan tak pernah diperbincangkan di generasi sekarang. Sejarawan Asvi Warman Adam membenarkan pemerintah memang telah menetapkan Tan Malaka sebagai pahlawan nasional pada 1963. Namun Asvi menyebut sejak 1965 nama Tan Malaka tidak lagi ada meski gelarnya tak pernah dicabut. 

Rencana pemindahan makam Tan Malaka sempat memicu penolakan warga Kediri. Mereka menilai makam Tan Malaka hendaknya dipertahankan di Kediri sesuai lokasi meninggal sang pahlawan. Warga juga menyebut Tan Malaka telah menjadi inspirasi perjuangan tersendiri bagi mereka. 

Sejumlah penolakan tersebut membuat pemindahan makam akhirnya hanya dilakukan dalam bentuk simbolis, tanpa pemindahan jasad. Pemindahan dilakukan dengan mengambil segenggam tanah dari makam untuk kemudian dibawa pulang ke tanah kelahiran Tan Malaka di Pandam Gadang, Suliki, Kabupaten Lima Puluh, 21 Februari 2017. 

Simbolisasi itu diawali prosesi penobatan gelar Raja Adat Bungo Setangkai, Kekerasan Suliki, Liak Limopuluah di hadapan makam Sutan Ibrahim Datuk Tan Malaka. Penobatan itu merupakan pemindahan gelar dari Sutan Ibrahim selaku penyandang Sako Datuk Tan Malaka ke generasi penerusnya. Regenerasi penobatan itu sempat tertahan berpuluh tahun karena menghilangnya Sutan Ibrahim sejak 1942. 

Penemuan makam tokoh dengan 23 nama samaran itu di Kediri tahun 2007 membuat keluarga Tan Malaka mampu menyempurnakan penobatan tersebut. Pada 14 April 2017, “makam” Tan Malaka pun diresmikan di Nagari Pandam Gadang, Kecamatan Gunuang Omeh, Kabupaten Lima Puluh, Sumatera Barat. 

Ketua Dewan Kesenian dan Kebudayaan Kabupaten Kediri (DKPP), Imam Mubarok, mengatakan posisi Tan Malaka sangat penting bagi warga adat di kampung halamannya. “Di wilayah adat, dia membawahi 142 niniak mamak atau pemimpin adat, di Kelarasan Bungo Setangkai (Tiga nagari: Pandam Gadang, Suliki, dan Kurai). Adatnya dari Agam, mainan urang Lima Puluh Kota,” ujar Imam