Bambang Soesatyo
Nasional

Mantan Ketua MPR Soroti Sisi Negatif Penghapusan Presidential Threshold

  • Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengkritik keputusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold), Bamsoet menyoroti potensi fragmentasi politik, polarisasi masyarakat, dan biaya pemilu yang meningkat

Nasional

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA - Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold memunculkan potensi peningkatan jumlah pasangan calon presiden dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2029 mendatang. 

Anggota Komisi III DPR RI sekaligus Mantan Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo, perubahan ini berpotensi menghasilkan lebih dari empat hingga enam pasangan calon, yang dapat membawa dinamika baru dalam politik Indonesia.

Menurut Bamsoet, peluang besar kini terbuka bagi partai politik untuk lebih aktif dalam kontestasi pilpres. Tanpa adanya batasan threshold, lebih banyak partai dapat mengusung calon presiden mereka sendiri. 

“Perlu adanya peningkatan kapasitas partai politik dalam mengedukasi kader mereka mengenai pentingnya integritas dan kualitas kepemimpinan,” terang Bamsoet, dalam keterangan resminya di Jakarta, dikutip Jumat, 10 Januari 2024.

Sisi Negatif Putusan MK

Namun bagi Bamsoet, situasi ini juga menyimpan sejumlah risiko. Fragmentasi politik yang lebih besar, potensi polarisasi masyarakat, serta tingginya biaya politik menjadi ancaman yang harus diwaspadai. Selain itu, terdapat kemungkinan munculnya calon-calon dengan kualitas rendah yang lolos kualifikasi persyaratan namun berpotensi mengurangi kualitas demokrasi Indonesia.

“Salah satu tantangan utama setelah penghapusan presidential threshold adalah menjaga kualitas kandidat,” ujar Bamsoet.

Ketua MPR tersebut memaparkan, banyaknya kandidat dalam pilpres tidak selalu berdampak positif. Bambang Soesatyo mengingatkan bahwa jumlah calon yang banyak dapat menghadirkan kandidat dengan visi yang terbatas dan minim pengalaman politik. Fenomena ini pernah terjadi pada Pilpres Brasil 2018, di mana 13 kandidat mencalonkan diri, sehingga menciptakan kebingungan di kalangan pemilih, serta menurunkan kualitas kandidat yang tersedia.

Untuk mengantisipasi risiko tersebut, masyarakat diimbau untuk lebih cerdas dalam memilih calon presiden. Pemilihan berdasarkan visi, misi, dan agenda inklusif harus menjadi prioritas utama. Partai politik juga dituntut untuk lebih selektif dan serius dalam mengusulkan kandidat. Melalui pelatihan dan pembinaan kader yang lebih baik, partai dapat menghasilkan calon yang berkualitas tinggi.

Indonesia merupakan negara dengan keragaman yang sangat tinggi, melihat fakta tersebut, menurut Bamsoet banyaknya kandidat dalam pilpres berisiko memperdalam perpecahan di masyarakat. Ia juga menekankan pentingnya menjaga kesatuan dan persatuan bangsa di tengah dinamika politik yang semakin kompleks.

Selain itu, dengan meningkatnya jumlah calon presiden, ada kemungkinan pemilu akan berlangsung lebih dari satu putaran. Hal ini tentu akan menambah beban biaya pemilu yang harus ditanggung oleh negara. Bambang Soesatyo menyoroti pentingnya efisiensi dalam pelaksanaan pemilu agar tidak membebani anggaran negara secara berlebihan.

"Dengan banyaknya calon presiden yang ada, dapat dipastikan bahwa pemilihan presiden akan berlangsung lebih dari satu putaran yang akan menambah beban biaya pemilu bagi pemerintah," tambah Bamsoet.

Dalam menghadapi tantangan ini, edukasi pemilih menjadi sangat penting. Pemilih harus didorong untuk memilih berdasarkan kualitas calon, bukan sekadar popularitas atau citra. Dengan adanya kualitas pemilih yang lebih cerdas dan kritis, kualitas demokrasi Indonesia diharapkan dapat meningkat meskipun di tengah dinamika politik yang semakin kompleks.

Keputusan MK yang menghapus presidential threshold membawa tantangan dan peluang baru bagi demokrasi Indonesia. Diperlukan kerjasama semua pihak, baik partai politik, masyarakat, maupun pemerintah, untuk menjaga stabilitas politik dan meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia.