Marak Obat Sirup Berbahaya, Bisnis dan Saham Farmasi Masih Sehat?
- Industri farmasi sedang terkena permasalahan yang cukup berat soal peredaran obat berbahaya.
Pasar Modal
JAKARTA - Industri farmasi sedang terkena permasalahan yang cukup berat soal peredaran obat berbahaya. Hal ini dikarenakan adanya obat-obatan berbentuk cair yang menggunakan bahan yang berbahaya yang menyebabkan gagal ginjal akut atau acute kidney injury.
Obat-obatan tersebut dinilai berbahaya karena mengandung zat etilen glikol (EG), dietilen glikol (DEG) dan etilon glikol butyl ether (EGBE) yang berada dalam obat sirup. Dampaknya pun mayoritas menyerang anak-anak berusia di bawah 5 tahun.
Hingga 5 November 2022, sebanyak 324 kasus gagal ginjal akut tercatat dengan angka kematian yang tinggi sebesar 194 jiwa. Namun, ada sekira 102 orang sembuh dan 28 orang masih dalam perawatan.
- Twitter Tambah Label Verified Baru untuk Akun yang Sudah Diverifikasi
- Suntik Mati TV Analog, Intip Prospek Industri Media Pertelevisian dari MNCN hingga SCMA
- Ekosistem Motor Listrik Terus Dijenjot, Kemenperin Godok Standardisasi Baterai
Menteri Kesehatan Budi G Sadikin mengklaim kasus gagal ginjal akut telah menurun. Hal ini sejalan dengan keluarnya Surat Edaran (SE) Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan pada 18 Oktober 2022 yang isinya menghentikan penggunaan obat sirup sementara kepada para seluruh Dinas Kesehatan, Fasilitas Pelayanan Kesehatan, dan Organisasi Profesi Kesehatan.
"Kasus baru minggu lalu terjadi di tanggal 29 Oktober dan 1 November. Itu karena pasien masih saja mengkonsumsi obat sirup dari apotik," ujar Budi dalam keterangannya.
Akan tetapi, pencabutan obat sirup tersebut cukup menekan industri farmasi. Sebab, seluruh produsen dan distributor obat sirup terkena imbasnya.
Dugaan Alasan Bahan Berbahaya Masuk ke Industri Farmasi Indonesia
Penggunaan zat berbahaya di dalam obat-obatan sirup menjadi momok di industri farmasi. Apalagi korban sudah mencapai ratusan orang yang sebagian besar anak-anak.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito mengungkapkan hasil pemeriksaan sarana produksi ditemukan bukti bahwa Industri Farmasi mengubah pemasok Bahan Baku Obat (BBO) dan menggunakan BBO yang Tidak Memenuhi Syarat (TMS) dengan cemaran EG pada bahan baku melebihi ambang batas aman yaitu tidak lebih dari 0,1%. Industri farmasi juga tidak melakukan penjaminan mutu BBO Propilen Glikol yang digunakan untuk sirup obat sehingga produk yang dihasilkan TMS.
"Industri Farmasi juga tidak melakukan proses kualifikasi pemasok/supplier BBO termasuk tidak melakukan pengujian BBO," ujarnya beberapa waktu lalu.
Dirinya menduga produsen obat mengganti pemasok bahan baku untuk menyiasati harga yang mahal. Selama pandemi, para produsen obat diduga mengganti pemasok bahan baku dari farmasi ke kimia dan tidak dilaporkan ke BPOM.
Penny mengatakan BPOM tidak memiliki kendali atas impor bahan baku atau bahan tambahan yang berasal dari pemasok zat kimia lantaran berada di bawah Kementerian Perdagangan.
"Karena masalah harga. Kalau dari pemasok farmasi lebih mahal dibanding kimia yang sangat murah," ujarnya beberapa waktu lalu.
Bisnis Industri Farmasi Masih Sehat
Bila melihat prospek bisnis industri farmasi masih cukup menjanjikan. Hal ini dikarenakan sektor farmasi masuk dalam sektor prioritas dan program Making Indonesia 4.0. Di mana sebagai upaya untuk meningkatkan daya saing sektor farmasi melalui dorongan transformasi digital dengan basis teknologi.
Tak hanya itu, Kementerian Investasi pun mempercepat pemberian izin terkait prosedur serta pengembangan produk dan jangka waktunya.
"Hal yang kami lihat cukup baik untuk pengembangan industri ke depannya," ujar Analis Pilarmas Investindo Sekuritas Desy Israhyanti kepada TrenAsia.com.
Hal ini mengingat tren kenaikan kinerja sektor farmasi mulai menurun seiring tren kasus pandemi melandai. Serta, terbebani dengan penguatan dolar di mana bahan baku masih impor.
Kinerja Emiten Farmasi di Kuartal III-2022
Melihat kinerja keuangan kuartal III-2022, hampir semuanya emiten farmasi mengalami penurunan laba bahkan sampai merugi. Contohnya saja PT Kimia Farma (Persero) Tbk (KAEF) dan PT Indofarma (Persero) Tbk (INAF).
Bila melihat laporan laba rugi, KAEF pada kuartal III-2022 merugi Rp180,94 miliar di mana pada periode yang sama tahun sebelumnya masih untung Rp302 miliar. Sedangkan INAF mencatat rugi Rp180,94 miliar dibandingkan kuartal III-2021 laba Rp977,78 miliar.
Sementara itu, PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk (SIDO) dan PT Soho Global Health Tbk (SOHO) alami penurunan laba.
Hanya PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) dan PT Phapros Tbk (PEHA) yang mencatat kenaikan laba bersih. PEHA mencatat laba bersih kuartal III-2022 sebesar Rp17,12 miliar dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya Rp10,88 miliar.
Sementara itu, KLBF mencatat laba periode berjalan yang diatribusikan ke pemilik entitas induk Rp2,49 triliun pada kuartal III-2022. Laba bersih tersebut naik 8,73% dibandingkan periode yang sama tahun 2021 sebesar Rp2,29 triliun.
Mengutip keterbukaan informasi PT Kalbe Farma Tbk, Senin, 31 Oktober 2022, penjualan bersih hingga kuartal III-2022 mencapai Rp21,18 triliun atau naik 10,9% dibandingkan periode yang sama tahun 2021 yang sebesar Rp19,1 triliun.
Presiden Direktur Kalbe Farma Vidjongtius mengatakan, walaupun COVID-19 mereda tapi perseroan menyasar penyakit lain. Ditambah lagi, tingkat kepedulian akan kesehatan semakin baik, maka mengambil peluang dari vitamin hingga suplemen.
Maka dari itu, dirinya menjaga kinerja keuangan KLBF dengan memanfaatkan segmen selain Covid-19. "Kalbe memanfaatkan portofolio produk yang ada mulai dari obat resep, obat produk kesehatan, nutrisi dan distribusi serta digital," ujarnya kepada TrenAsia.com.
Prospek Saham Emiten Farmasi
Analis Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta mengatakan, untuk kinerja emiten memang PEHA dan KLBF ditunjang peningkatan penjualan dari sisi produk kesehatan. Apalagi kesehatan sangat esensial.
"Sementara itu kebutuhan obat-obatan akan masih tren positif selama momentum pemulihan ekonomi indonesia itu juga terus berlanjut jadi ada peningkatan demand di sektor kesehatan," ujarnya kepada TrenAsia.com.
Bila melihat prospek saham KLBF, pembagian dividen yang dilakukannya menjadi pemanis bagi para investor. Belum lagi KLBF termasuk kategori kapitalisasi besar di bidang kesehatan.
"Jadi pelaku investor lebih cenderung ke saham KLBF. saham KLBF masih termasuk defensif. jadi masalah uptrend dan downtrend masih ke arah defensif," ujarnya.