<p>Ilustrasi Gedung BNI / Bni.co.id</p>
Industri

Maria Pauline Lumowo Bobol BNI Triliunan Rupiah dan Pengaruh Kuat &#8220;Orang Dalam&#8221;

  • “Ibaratnya sebuah rumah, meskipun sudah dipasang gerbang yang kuat dari besi atau baja, kalau ada orang yang membukakan pintu dari dalam, maka tetap saja bisa dimasuki.”

Industri
Aprilia Ciptaning

Aprilia Ciptaning

Author

JAKARTA – Pemerintah berhasil memboyong Maria Pauline Lumowo, salah satu pelaku pembobolan kredit PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. atau BNI senilai Rp1,7 triliun dari Serbia pada Kamis, 9 Juli 2020.

Kasus penipuan tersebut terjadi 17 tahun tahun silam, bermula pada Oktober 2002. Saat itu, BNI mengucurkan pinjaman sebesar US$136 juta dan 56 juta euro atau setara Rp1,7 triliun kepada PT Gramarindo Group, perusahaan milik Maria dan Adrian Waworuntu.

Dugaan manipulatif pun tercium tatkala BNI akhirnya mengetahui bahwa Letter of Credit (L/C) yang dijadikan jaminan oleh perusahaan Maria tersebut palsu atau fiktif.

L/C dikenal sebagai metode pembayaran internasional berupa komitmen membayar dari bank penerbit. Bank dapat menerbitkan surat tersebut atas permintaan importir melalui formulir permohonan penerbitan L/C.

Pasalnya, bank yang mengeluarkan L/C tersebut, yakni Dubai Bank Kenya Ltd, Rosbank Switzerland, Middle East Bank Kenya Ltd, dan The Wall Street Banking Corp tersebut bukan merupakan bank korespondensi BNI.

Di samping itu, menyusul fakta penyidikan lain bahwa PT Gramarindo Group tak pernah melakukan ekspor.

Kemudian, BNI melaporkan kasus tersebut ke Mabes Polri pada Oktober 2003. Hasilnya, ditemukan 11 pelaku lainnya selain Maria. Pelaku tersebut telah divonis penjara dengan hukuman yang berbeda-beda. Namun, berbeda dengan yang lain, Maria dapat melarikan diri selama 17 tahun, hingga akhirnya berhasil ditangkap kemarin, Kamis, 9 Juli 2020.

Maria Pauline/YouTube

Pengaruh Orang Dalam

Terkait dengan kasus ini, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menyebut bahwa persoalannya tidak terletak pada sistem keamanan perbankan, sekalipun tren digital juga belum merambah di sektor ini pada tahun mencuatnya penipuan tersebut.

Menurutnya, terdapat faktor lain yang menyebabkan penipuan tersebut berhasil dilakukan.

“Persoalannya bukan pada digital atau tidaknya. Bank itu (sebetulnya) aman, selama tidak ada keterlibatan orang di dalamnya,” ujarnya kepada TrenAsia.com, Jumat, 10 Juli 2020.

Piter menganalogikan dengan pengamanan sebuah rumah. “Ibaratnya sebuah rumah, meskipun sudah dipasang gerbang yang kuat dari besi atau baja, kalau ada orang yang membukakan pintu dari dalam, maka tetap saja bisa dimasuki,” terangnya.

Hal ini terbukti dari nama-nama tersangka. Dari kesebelas pelaku, terdapat mantan pejabat BNI yang turut meloloskan pengajuan uang dengan jaminan L/C fiktif tersebut.

Pihak yang terlibat, yakni Direktur Utama PT Magnetik Usaha Indonesia Adrian Pendelaki Lumowa, Konsultan Investasi PT Sagered Tem Adrian Herling Woworuntu, Mantan Direktur Utama PT Triranu Caraka Pasifik Jeffry Baso, Mantan Kepala Divisi Internasional BNI Wayan Saputra, Quality Assurance Divisi Kepatuhan BNI Kantor Besar Aan Suryana.

Selain itu, ada Mantan Kepala Customer Service Luar Negeri BNI Kebayoran Edy Santoso, Mantan Direktur PT Gramarindo Mega Indonesia Ollah Abdullah Agam, Mantan Direktur Utama PT Bhinekatama Titik Pristiwati, Mantan Kabareskrim Mabes Polri Komjen Polisi Suyitno Landung, Mantan Direktur Utama PT Metranta Richard Kuontol, dan Mantan Direktur Utama PT Pantipros Aprilla Widhata.

Oleh karena itu, kata Piter, integritas menjadi hal yang sangat penting dimiliki oleh para pejabat. Di samping itu, perbankan juga harus memperkuat sistem dan memastikan pengecekan secara lebih hati-hati.

“Jadi, selain sistem, yang paling penting adalah sumber daya manusia (SDM),” tambahnya.

Meskipun demikian, kata Piter, kasus ini tidak dapat dijadikan acuan untuk menggeneralisasi kondisi dan situasi perbankan secara keseluruhan.

“Ini sifatnya kasus, bisa menimpa sektor apa saja,” ujarnya.

Pengawasan OJK

Selain itu, lanjutnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan pemerintah telah mengupayakan pengawasan semaksimal mungkin untuk mencegah kasus serupa terjadi kembali, tak hanya di perbankan, tetapi juga di industri keuangan non-bank (IKNB).

Berdasarkan laporan OJK, selama semester I-2020 pihaknya telah menghentikan sebanyak 689 usaha pinjaman online (pinjol), 61 investasi bodong, dan 25 usaha gadai ilegal.

“OJK juga memberikan denda kepada 192 pelaku pasar modal dan memberikan peringatan kepada 184 pelaku secara tertulis,” terang Deputi Komisioner Hubungan Masyarakat dan Logistik OJK Anto Prabowo.

Selain itu, otoritas juga membekukan dua izin Wakil Penjamin Emisi Efek (WPPE), mencabut izin usaha tujuh Perantara Pedagang Efek (PPE) dan Penjamin Emisi Efek (PEE), serta enam Wakil Perantara Pedagang Efek (WPPE).

Kemudian, OJK diketahui telah menjatuhkan 39 sanksi berupa peringatan dan 30 denda kepada perusahaan asuransi serta dana pensiun. OJK juga mencabut enam izin usaha dan mengeluarkan 278 sanksi administratif.

Untuk penyidikan di sektor jasa keuangan, Anto menjelaskan ada 13 surat perintah penyidikan. Kemudian, 12 kasus dalam pelimpahan berkas kejaksaan dan 10 berkas perkara sudah lengkap. 

Transaksi digital Bank BNI. / Facebook @BNI

Evaluasi BNI

Direktur Human Capital & Kepatuhan BNI Bob Tyasika Ananta pun mengungkapkan, berbagai langkah ditempuh agar kelalaian tersebut tidak terulang.

“BNI mengevaluasi tata kelola layanan pemrosesan L/C sehingga dapat menemukan modus yang digunakan pelaku,” ungkapnya dalam siaran pers, Jumat, 10 Juli 2020.

Evaluasi yang dimaksud adalah sentralisasi layanan pemrosesan transaksi trade di kantor pusat. Artinya, pengalihan kewenangan dilakukan dengan memutus transaksi L/C yang awalnya berada pada kantor cabang utama, dialihkan ke Trade Processing Center (TPC) di Divisi Internasional.

Selain itu, fungsi kantor cabang dalam layanan pun berubah, hanya untuk melakukan penerimaan permohonan transaksi trade dari nasabah. “Untuk keputusannya, akan menjadi kewenangan tim di kantor pusat. Jadi, prosesnya jauh lebih aman baik bagi perusahaan maupun bagi nasabah,” kata Bob.

Untuk penyelesaian kasus, ungkapnya, bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bersandi saham BBNI ini menyatakan siap membantu aparat penegak hukum dalam memproses pelaku.

“Bagi BNI, dengan adanya proses hukum terhadap pelaku, maka berpotensi mendapatkan recovery untuk mengurangi kerugian perusahaan,” imbuhnya. (SKO)