Masyarakat Indonesia Rawan Terpapar Radikalisme Lewat Sosmed, Kebanyakan Kaum Milenial
- Sejumlah lapisan masyarakat Indonesia disebut rawan terpapar konten radikalisme.
Nasional
SOLO- Sejumlah lapisan masyarakat Indonesia disebut rawan terpapar konten radikalisme. Berdasar temuan Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pada 2020 lalu, ada kisaran 20.543 konten yang terindikasi bermuatan radikalisme dan terorisme.
Di tahun yang sama, data dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada Desember 2020 menyebut bahwa 12,2 % penduduk Indonesia telah terpapar radikalisme. Artinya, jika melihat jumlah masyrakat Indonesia yang merupakan terpadat keempat di dunia, presentase ini setara dengan 30 juta penduduk.
Ironisnya, dari jumlah tersebut, 85% diantaranya merupakan kelompok anak muda dari generasi milenial. Dari keseluruhan, potensi radikalisme lebih rentan terjadi di kalangan perempuan dibanding lelaki.
Dalam narasinya, para pemuda yang yang terpapar radikalisme punya indikasi untuk mendukung khilafah serta menganggap khilafah sebagai bentuk Pemerintahan yang ideal.
Mayndra Eka Wardhana, Pelaksana Harian (PLH) Kepala Sub-Direktorat Kontra Naratif Direktorat Pencegahan Dentasemen Khusus Anti Teror Kepolisian Republik Indonesia dalam pemaparannya pada perhelatan Indonesia-Malaysia In Countering Radicalism, Extremism, And Terorism Through Digital Media yang diselenggarakan The Apex Chronichels mengatakan paparan tersebut semakin masif lantaran adanya pengaruh dari digitalisi.
- Fitur X untuk Laporkan Kesalahan Informasi Politik Dinonaktifkan
- Pengguna X Kini Bisa Video Call dan Telepon, Ini Syaratnya
- Menteri Ekonomi Argentina Buka Pintu untuk Sektor Minyak
Mayndra mengatakan, para radikalis memanfaatkan teknologi, khususnya sosial media sebagai sarana penyebaran narasi radikalisme, ekstremisme, dan terorisme dengan berbagai tujuan.
Adapun narasi yang biasanya disebarkan adalah beberapa gagasan yang memiliki potensi destruktif dan mengarah pada ajakan mengesampingkan Pancasila dan melanggar hukum yang berlaku di Indonesia.
Oleh sebab itu, Mayndra menekankan sejumlah pihak untk mengevaluasi informasi yang ditemukan apakah mengancam stabilitas nasional.
Selain itu, perlu mengedukasi diri dan orang lain tentang konten yang tergolong narasi radikalisme dan ekstrimisme serta bertanya pada pihak yang kompeten untuk mengetahui pola penyebaran ideologi.
Cara untuk menghindari paparan dan dampak dari sebaran narasi radikalisme, ekstremisme, dan
terorisme di ranah digital adalah dengan mengurangi eksposur.
"Kita wajib mengedukasi diri, mempromosikan pemahaman moderasi dan dialog, bijak bermedia sosial diantaranya menjaga privasi, saring sebelum sharing, dan melakukan kroscek kebenaran konten,” jelas Mayndra.
Pergeseran Tren Penyebaran Radikalisme di Indonesia
Terkait penyebaran radikalisme di Indonesia, Direktur BNPT, Irfan Idris mengatakan bahwa trennya saat ini mulai bergeser. Jika sebelumnya penyebaran dilakukan secara tertutup, kini pelaku mulai berani menampakkan diri di sosial media.
Irfan memaparkan bahwa dahulu, penyebaran paham radikal diawali dengan pertemuan umum. Setelahnya, ada kajian yang mengarah pada radikalisme seperti keutamaan jihad.
"Setiap kajian sifatnya mendoktrin dan mencuci otak. Mereka biasanya hanya memiliki satu guru, atau dua sampai tiga guru tetapi dengan pemahaman yang sama. Mereka juga dilarang untuk bergaul dan berdiskusi dengan orang di luar kelompoknya atau berbeda pemahaman," tutur Irfan.
Ia menambahkan, penyebaran model ini diperparah dengan paparan ideologi yang disebarkan dan bisa diakses bebas di internet. Ini diperkuat dari data BNPT per September 2023 yang menunjukkan 97 dari 329 napi kasus terorisme mengakui bahwa terpapar paham tersebut dari internet.
Mulai Menjalar ke Oknum Aparatur Negara
Paham radikal dan teroris rupanya tak hanya menjerat masyarakat umum. tetapi juga menjalan ke oknum aparatur negara.
Mengutip data Kepolisian Republik Indonesia yang rilis 2023, ada kisaran 247 penangkapan teroris pada tahun 2022.
Selama 2010 hingga 2022, terdapat setidaknya 33 abdi negara terlibat aksi terorisme. Rinciannya, 8 personel Polri, 4 Prajurit TNI, 3 Pegawai BUMN, dan 18 Aparatur Sipil Negara (ASN).
Teranyar, seorang karyawan PT KAI Indonesia indonesia ditetapkan sebagai tersangka Teroris pada pertengahan Agustus lalu setelah terbukti terhubung dengan gerakan teroris ISIS.
Pada tahun 2014, DE pertama kali menyatakan baiat kepada Amir Islamic State Abu Al Husain. DE bergabung sebagai pegawai BUMN pada tahun 2016.
"Mulai dari situ, melakukan aktivitas-aktivitas, persiapan-persiapan. Jadi, yang bersangkutan melakukan pelatihan, kemudian melakukan pengumpulan peralatan yang dibutuhkan," jelasnya.
DE juga dikenal aktif di media sosial untuk menyebarkan propaganda aksi terorisme. Bahkan, beberapa akun miliknya pernah dilaporkan dan ditutup oleh Facebook dan YouTube. Namun, lanjut Aswin, seperti pelaku-pelaku lainnya, DE tidak kapok dengan penutupan akun tersebut dan justru membuat akun-akun baru dengan akses pribadi (private).