Mau Tak Mau, Langkah Pahit Harus Diambil Startup untuk Bisa Bertahan
JAKARTA- Pandemi COVID-19 memaksa mayoritas perusahaan rintisan (startup) global termasuk di Indonesia harus mengambil sejumlah langkah yang tidak menyenangkan termasuk kembali ke bisnis inti (refocusing). Lini bisnis yang menjadi bagian dari inovasi dan dalam fase pengembangan harus tereliminasi agar perusahaan bisa bertahan secara jangka panjang. ”Semua perusahaan pasti akan lebih fokus dan memutar kembali ke […]
Industri
JAKARTA- Pandemi COVID-19 memaksa mayoritas perusahaan rintisan (startup) global termasuk di Indonesia harus mengambil sejumlah langkah yang tidak menyenangkan termasuk kembali ke bisnis inti (refocusing). Lini bisnis yang menjadi bagian dari inovasi dan dalam fase pengembangan harus tereliminasi agar perusahaan bisa bertahan secara jangka panjang.
”Semua perusahaan pasti akan lebih fokus dan memutar kembali ke bisnis utama (core business)nya. Lini bisnis non-core akan dikurangi dan bahkan dihilangkan,” ungkap pakar ekonomi digital dan Executive Chairman Digital Banking Institute, Bari Arijono Jumat 19 Juni 2020.
Startup yang bisnis intinya tidak terdampak signifikan oleh pandemi COVID-19 bisa disebut sangat beruntung. Mereka masih bisa bertahan meski ke depan juga belum ada kepastian ini. Perusahaan seperti ini menurutnya tidak terlalu “berdarah-darah” walaupun tetap akan melakukan rasionalisasi dengan cara meninggalkan lini bisnis non inti.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
- Anies Baswedan Tunggu Titah Jokowi untuk Tarik Rem Darurat hingga Lockdown
- IPO Akhir Juni 2021, Era Graharealty Dapat Kode Saham IPAC
Sebaliknya, perjuangan berat harus dihadapi oleh startup yang bisnis intinya sangat terdampak pandemi terutama yang bergerak di bidang pariwisata dan perhotelan. Bahkan Traveloka terpaksa mengurangi sekitar 10 persen karyawannya.
”Industri pariwisata terkena pasti. Alhasil Traveloka, Tiket, dan Booking terdampak besar. Mereka butuh recovery lama, bahkan perkiraan saya sampai akhir tahun mereka masih rasionalisasi,” ujar Bari.
Meski begitu, kata Bari, Traveloka dan kawan-kawan pun akan tetap melakukan refocusing. Bertahan di bisnis inti dan mengurangi beban pada bisnis lain yang termasuk dalam kategori non-inti.
”Pengurangan karyawan tak bisa dihindari dan akan efisiensi di sisi operasional. Misalnya punya kantor di Bali, Bandung, atau tempat lain akan tidak lakukan,” terusnya.
Bukan hanya startup, efisiensi dan segala bentuk rasionalisasi juga dilakukan perusahaan yang sudah eksis sejak lama. Tidak terkecuali korporasi berskala besar.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah, mengatakan kondisi pemutusan karyawan ini wajar terjadi disaat seperti ini. ”Jadi sebuah keniscayaan. Di tengah perekonomian lambat, perusahaan pasti mengalami kerugian. Cara mengurangi kerugian pasti lewat pengurangan karyawan. Misalnya pabrik tak beroperasi dan tutup masa tidak potong karyawan?” jelasnya.
Pada situasi seperti pandemi ini, lanjutnya, semua sektor pasti akan mengalami perlambatan ekonomi. ”Tidak hanya perusahaan sektor tertentu saja tapi menghantam semua sektor,” tegasnya.
Piter menambahkan, merumahkan pegawai adalah pilihan rasional dari pelaku usaha. ”Memang ada opsi lain untuk mencegah PHK. Misalnya pemerintah Jerman subsidi gaji pegawai. Sebelum ada alarm pengangguran, sebagian gaji karyawan swasta mereka ditanggung oleh pemerintah,” terangnya.
Selama virus Corona masih mengancam menurut Piter maka badai ekonomi terus terjadi. ”Ini kondisi tidak normal dan orang masih takut PHK. Padahal itu sesuatu yang rasional. Semua yang tidak efisien pasti diefisienkan,” katanya.